Oleh : Syafri Piliang
Wartawan Muda
Dharmasraya – Fenomena yang terjadi pasca pelantikan sejumlah pejabat struktural dan fungsional dua pekan lalu, meski masalah itu sudah selesai, tetap meninggalkan jejak, ibarat luka meninggalkan bekas. Persolan ini masih jadi perbincangan hangat di kedai kopi bahkan sampai ke group WhatsApp. Karena setiap sistem pemerintahan tentu ada jabatan yang tak selalu tampak di depan, tetapi menjadi penentu keseimbangan di balik layar. Yang disebut tersebut Sekretaris Daerah adalah salah satunya.
Perannya bukan hanya sekadar mengurus administrasi atau menandatangani surat keputusan. Ia adalah penyangga harmoni, pengatur irama antara dua poros kekuasaan antara Bupati dan Wakil Bupati dengan tujuan agar langkah pemerintahan tetap berjalan seimbang, tidak saling meniadakan.
Namun, menjaga keseimbangan di ruang kekuasaan tidak pernah mudah. Dalam praktiknya, godaan untuk condong sering kali datang. Perintah langsung dari Bupati kerap terdengar lebih nyaring, membuat komunikasi dengan Wakil Bupati terabaikan. Padahal, dalam sistem pemerintahan daerah yang sehat, keterbukaan dan koordinasi adalah pondasi yang harus tetap dijaga.
Seorang pamong senior mengingatkan, “Sekda itu ibarat segitiga terbalik.” Ia berdiri di bawah dua puncak kekuasaan, menopang agar keduanya tetap kokoh. Perumpamaan itu sederhana, tapi sarat makna. Sekda bukan penguasa, melainkan penyeimbang; bukan pengambil alih, melainkan penjaga keteraturan.
Lebih dari sekadar jabatan, posisi Sekda adalah ujian etika. Ia harus mampu berdiri tegak di tengah dua kepentingan, menjaga agar birokrasi tidak terseret arus politik sesaat. Apalagi jika Sekda adalah sosok yang diangkat berpengalaman dan seorang pamong yang telah menempuh panjang jalan birokrasi. Ia pernah menjadi Penjabat Wali Kota maupun Penjabat Bupati. Pengalaman itu mestinya menjadikan langkahnya matang, bukan gegabah dalam mengambil sikap.
Dalam falsafah lama pamong praja, Sekda diibaratkan menating minyak di atas piring. Sebuah pekerjaan yang menuntut keseimbangan sempurna. Minyak itu tak boleh tumpah, sebab bila tumpah, pasti ada yang terluka, oleh keputusan yang keliru dan komunikasi yang terputus, atau karena rasa saling tidak percaya lagi.
Kita percaya, birokrasi yang baik dibangun dari ketulusan, bukan dari kedekatan semata, tapi bisa menjaga keseimbangan dan bukan pula dari keberpihakan. Karena pada akhirnya, inti dari kekuasaan adalah pelayanan. Pelayanan yang sejati hanya lahir dari kehati-hatian, rasa hormat, serta komunikasi yang jernih di antara pemimpin sedang berkuasa.
Menjadi Sekda itu berarti bertanggung tanggung jawab atas moral yang halus tapi berat, dalam artian menjaga agar minyak itu tetap utuh di atas piring. Agar tidak ada yang tersakiti. Artinya menjaga dua perahu pemerintahan tetap berjalan dengan kepala dingin serta hati yang tenang. Kondisi yang terjadi saat ini tidak boleh dianggap sepele yang pada akhirnya juga bertele – tele dan menjadi konsumsi publik.
Hal ini bisa menjadi bola salju yang sewaktu – waktu akan meledak. Sebab kedua pemimpin so pasti punya pendukung, apakah masyarakat akan di benturkan satu sama lainnya dan Jika minyak tersebut sampai tumpah tentu tidak terbendung lagi. Akankah terjadi demo..?. Entah lah, tapi pada siapa hanya publik yang tahu.***

Discussion about this post