Oleh : Hafni Pon
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada), memang telah usai. Berbeda dengan kegiatan sana sebelumnya, pada Pilkada tahun 2020 ini, masa pendemi Covid 19, terjadi berbagai perubahan ketentuan dalam proses pesta demokrasi tersebut.
Ketentuan yang cukup signifikan pada Pilkada pada 270 provinsi, kota dan kabupaten adalah tentang pemberlakuan Adaptasi Kenormalan Baru (AKB) yang sempat melahirkan peringatan Menteri Dalam Negeri, terutama kepada petahana yang dinilai telah menyalahi ketentuan Protokol Kesehatan (Prokes) dan juga menetapkan pelaksanaan kampanye dengan melarang kegiatan secara terbuka
Dampak pertama ditundanya pelaksanaan Pilkada dari bulan Juli menjadi Desember, sehingga sempat dikhawatirkan akan menjadi klaster penyebaran Covid 19.
Perubahan mendasar yang menjadi perbedaan adalah pelaksanaan kampanye yang meniadakan kegiatan secara terbuka. Maka kegiatan untuk meraup suara pemilih hanya dilakukan dalam pertemuan terbatas.
Sebagai sebuah pesta demokrasi, efeuria keramaian memang tetap tidak terelakan, sehingga kerumunan masih tetap terjadi, karena tidak mengindahkan protokol kesehatan yang sudah ditentukan .
Sampai puncak kegiatan Pilkada, penerapan Prokes menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar, sehingga dapat dijadikan sebagai landasan sebuah kenormalan baru.
Beranjak dari kondisi tersebut, menarik untuk disimak dari hasil Pilkada yang telah menghasilkan pasangan Gubernur- Wakil Gubernur, Walikota – Wakil Walikota, Bupati dan Wakil Bupati, untuk dapat mewujudkan AKB di daerah yang dipimpinnya.
Sepanjang proses Pilkada berlangsung, selain berpedoman kepada Prokes, terutama pada debat pasangan calon, hampir tidak masuk materi AKB, dan boleh jadi juga tidak dituangkan dalam visi dan misi para Paslon tersebut.
Kalau memang tidak ada Paslon yang memadukan materi AKB dalam visi dan misi mereka, bagaimana gubernur, walikota dan bupati bersama wakilnya untuk dapat menerapkannya pada masa kepemimpinannya.
Padahal visi dan misi kepala daerah tersebut merupakan acuan untuk melahirkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) di suatu daerah .
Inilah pertanyaan sekaligus tuntutan bagi kepala daerah yang sudah terpilih pada Pilkada lalu. Apakah mungkin kebijakan yang dilahirkan itu bisa hanya berpedoman kepada Peraturan Daerah (Perda) tentang AKB yang sudah dilahirkan oleh pemerintah provinsi, kota dan kabupaten saja ?
Begitupun APBD yang sudah disahkan oleh DPRD, apakah sudah mengakomodir anggaran untuk kegiatan penecagan dan penanggulangan Covid 19 di seluruh daerah.
Kalau belum, bagaimana gubernur, walikota dan bupati dan para wakilnya mampu menerapkan AKB di daerahnya. Apalagi sesuai ketentuan pengelolaan anggaran di daerah sangat membatasi diskresi kepala daerah dalam penggunaaan keuangan.
Discussion about this post