Oleh Syafri Piliang
Wartawan Muda
Di tengah senja yang mulai redup di nagari yang ada di Kabupaten Dharmasraya, terdengar sayup-sayup alunan lagu khas minang yang sarat makna, “ Dek lai pandai baminyak aia licin juo tampak dek urang”.
Bagi sebagian orang menilainya, lirik itu mungkin hanya sekadar dendang lama yang dinyanyikan dengan nada sendu. Namun bagi mereka yang hidup dalam kesederhanaan dan perjuangan, lagu ini adalah cermin kehidupan sebuah kisah tentang manusia yang berusaha bertahan di tengah kerasnya kehidupan, di saat dunia tak selalu berpihak.
Lirik itu menggambarkan seseorang yang telah berusaha sekuat tenaga, “alah takadia kabadan diri mak oi,” sudah sampai di batas kemampuan. Tapi, seberapa pun gigih ia berjuang, kadang dunia tetap menilainya dari permukaan.
“Jikok dietong buruak disabuik pasangan lakek diateh kuduak barek jo ringan den elo juo mak oi..” artinya berat dan ringannya hidup seakan ditimbang oleh pandangan orang lain.
Ada getir yang dalam di situ. Sebuah pengakuan bahwa hidup bukan sekadar soal rajin berbuat baik, tapi juga bagaimana orang lain menilai, seringkali tanpa tahu betapa berat perjuangan yang dijalani.
“ Rasaian bana lah dek ang badan,” begitu lanjut liriknya seakan menyerah bukan karena lemah, melainkan karena letih. Ada rasa pilu yang manusiawi, saat seseorang harus menerima kenyataan bahwa tidak semua usaha akan berbuah manis.
Di balik kata – kata puitis itu tersimpan realitas sosial, banyak orang yang bekerja keras, berjuang tanpa pamrih, namun tetap luput dari pengakuan. Lagu ini menjadi semacam monolog batin suara hati orang-orang kecil yang tetap mencoba tegak, meski di tengah badai menghantam.
Dalam konteks budaya Minang, lirik ini juga mencerminkan filosofi hidup “sakik mananti tabuak, tapi pantang patah ka tanah.” orang minang percaya pada daya juang dan harga diri.
Meskipun “baminyak aia” berusaha untuk menyesuaikan diri di tengah licinnya kehidupan. Mereka tetap menjaga marwah dan kesetiaan terhadap nilai-nilai hidup.
Dan di setiap penggal liriknya, tersimpan sebuah renungan, bahwa kesusahan bukanlah aib, melainkan bagian dari perjalanan menjadi manusia yang lebih kuat.
Lagu ini, di populerkan langsung oleh penciptanya almarhum Zalmon. Ia banyak menyanyikan lagu- lagu penuh makna seperti buah karya dari almarhum Ayah Zulhazam dan Almarhum Agus Taher tentang kehidupan keseharian orang minang.
Menariknya, sampai hari ini lagu ini terus menyala bagaikan lantera di bukit lampu, kandati beliau sudah tiada. Namun, dibalik syair lagu ini tidak sekadar dinyanyikan, tapi untuk dirasakan, ” Alfatiha ” teruntuk beliau yang sudah tiada.
Lirik lagu ini, hidup di antara perantau minang yang merindukan kampung halamannya, di hati para pekerja yang berjuang di kota besar, dan menyentuh hingga ke sanubari siapa pun yang pernah merasa lelah, tapi tetap berpegang pada harapan.
Di antara senyap sore yang makin panjang itu, suara legendaris tua almarhum Zalmon dengan suara khasnya” srak – srak basah ” kembali terdengar disalah satu radio sushy di Kota Padang.
Getar suaranya parau, tapi jujur. Mengingatkan bagi setiap kita, bahwa dalam hidup yang licin ini, setiap langkah kecil pun adalah bentuk keberanian.
Karena pada akhirnya, seperti pesan yang tersirat dalam lagu itu, hidup boleh berat, tapi selagi hati masih sanggup untuk merasakannya, berarti kita belum kalah oleh nasib, meski agak terasa berat.***

Discussion about this post