Cak Hendro Basuki Wartawan Senior dan penguji UKW-PWI dari Semarang, Jawa Tengah mempertanyakan keabsahan sanksi Dewan Kehormatan DK-PWI pusat.
Pertanyaannya, apakah sanksi yang diberikan DK itu gugur setelah pengurus berganti?, tulis Cak Hendro di WA Warga PWI yang terbaca, Minggu 1 Oktober 2023. “Sanksi 1 tahun, apakah sudah terlewati atau belum. Jika belum, berarti sanksi masih berlaku ? Atau, seluruhnya dimaafkan, dan dianggap semua sudah selesai?
Pertanyaan Kang Hendro muncul setelah membaca tulisan saya dengan judul “Kongres PWI Bandung; DK Bukan Institusi Polisional dan Bukan pula Personal Attack”.
Memang dalam tulisan tersebut saya menyebutkan beberapa sanksi yang dikeluarkan DK selama periode 2018-2023. Ada 4 pelanggaran besar yang terjadi sehingga DK yang dipimpin Ilham Bintang terpaksa mengeluarkan sanksi antara lain;
1.Basril Basyar, Ketua PWI Provinsi Sumbar. Sanksinya pemberhentian sebagai anggota PWI karena terbukti berbohong, ia masih pegawai aktif di Unand Padang, padahal itu dilarang aturan PWI. Sanksi kepada Basril dikeluarkan tanggal 9 Januari, melalui SK No 50/SK/DK-PWI/2023, berupa pemberhentian karena telah melakukan pelanggaran PD PRT dan KPW. Akibat sanksi itu yang bersangkutan tidak bisa dilantik sehingga Konfercab PWI Sumbar harus diulang.
Pemberhentian Basril oleh DK itu tidak diindahkan Pengurus Harian PWI pusat sebagai institusi pelaksana eksekusi. Justeru Ketum melantik yang bersangkutan sebagai Ketua PWI Sumbar tanggal 15 Januari 2023.
Pemberhentian juga diberikan kepada Ridwan Agus, Ketua PWI Jambi tertanggal 20 Oktober 2020 karena dalam kedudukannya sebagai Ketua telah melakukan pelanggaran PD PRT dan KPW yakni secara terang-terangan mendukung salah satu calon pada pemilihan Gubernur Jambi. Dukungan diberikan secara simbolik namun jelas ketika memberikan sambutan Ridwan Agus dan pengurus PWI Jambi menggunakan atribut organisasi. Dalam hal ini apa yang menjadi dasar pemberian sanksi adalah demi menjaga independensi, integritas, marwah dan martabat organisasi.
Dewan Kehormatan juga menjatuhkan sanksi berupa skorsing (pemberhentian sementara) satu tahun kepada dua anggota PWI yang menjabat Sekjen dan Ketua Bidang Organisasi, yaitu Mirza Zulhadi dan Zulkifli Gani Ottoh. Sedangkan Ketua Umum Atal S Depari mendapat sanksi dua kali peringatan keras. Dalam laporan pertanggungjawaban DK-PWI yang disampaikan Ilham Bintang sendiri di depan sidang Kongres Bandung dia memaparkan itu.
“Belum pernah terjadi dalam sejarah PWI. Tapi itu memang ketentuan konstitusi organisasi. Jangan khawatir, tidak ada perkawanan yang rusak. Saya tetap bersahabat sahabat dengan beliau. Tanya saja sama Pak Atal,” kata Ilham di podium sambil melirik Atal di meja pimpinan sidang, Senin (25/9) malam itu.
Pimpinan teras PWI pusat dinilai bertanggung jawab dan melakukan pembiaran atas terjadinya pelanggaran yang dilakukan Basril Basyar sehingga bisa terpilih dan tetap dilantik sebagai Ketua PWI Sumatera Barat padahal statusnya sebagai PNS.
Kepada Zulkifki Gani Ottoh setelah mendapat peringatan keras oleh DK disusul lagi dengan pemberhentian sementara selama satu tahun karena berbagai tindakan tercela yang dilakukannya sehingga mengakibatkan lepasnya Kantor PWI Sulawesi Selatan.
Kembali kepertanyaan inti Mas Hendro Basuki, apakah sanksi DK tersebut berakhir bersamaan dengan berakhirnya kepengurusan DK dan PH?
Ilham Bintang, Ketua DK periode 2018-2023 menjelaskan : “Laporan pertanggungjawaban DK, khususnya mengenai sanksi-sanksi yang saya bacakan malam itu diterima secara aklamasi oleh Kongres. Dalam laporan yang saya sampaikan menyebutkan, sanksi-sanksi DK PWI tetap berlaku. Karena ungkapan “dianulir” yang dipakai Ketua Bidang Organisasi Zugito, tidak ada dalam aturan organisasi. Istilah lainnya, yaitu alas sanksi DK, “gagal” disahkan Kongres Solo itu, hanya untuk mengelak sanksi. Kata gagal juga merupakan istilah asing dalam PD PRT, KEJ, dan KPW.
Yang tercantum di tiga konstitusi organisasi PWI, dua hal penting ini.
1. Tidak satupun organ PWI yang memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi kecuali DK.
2. Sanksi DK bersifat tetap dan mengikat.
Dalam tulisan panjang Wina hasil mengikuti sidang komisi organisasi di Kongres XXV, dua poin penting itu tetap dipertahankan.
LPJ PH lama memang diterima kongres. Tapi, secara formal yang diterima yang dibacakan Atal, yakni cerita sukses kepemimpinannya. Atal tampaknya sengaja tidak membacakan bagian yang disusun oleh Zugito yang argumentasinya ruwet. Apalagi kalau mengacu pada bagian akhir laporannya.
Zugito menyebut secara eksplisit “laporan dibuat dan direkomendasikan oleh Ketua Bidang Organisasi dan Ketua Bidang Daerah”. Ini lebih parah lagi, karena Ketua Bidang Daerah, Ahmad Munir, menyangkal tidak pernah mengetahui, lebih-lebih menyetujui isinya. Artinya itu laporan palsu.
Salah satu rekomendasi Pengurus Harian dalam LPJ yang dibacakan Zugito adalah pemberhentian penuh terhadap anggota PWI,Dahlan Abubakar, Hasan Kuba, Patarai Wawo, Anwar Sanusi. Padahal pemberhentian itu gawenya DK . Nampak sekali PH tidak paham berorganisasi. Tidak tahu batasan wewenang antara PH dan DK.
Apa tugas dan wewenang PH dan DK sudah dikupas tuntas oleh Wina Armada Sukardi dalam tulisan bersambung yang juga dimuat media ini.
Di Sumatera Barat ada istilah “sekali aie gadang sakali tapian barubah”. Bahasa Indonesia: “Sekali air bah sekali tepian berubah”. Artinya setiap kali terjadi peristiwa besar maka akan terjadi perubahan tatanan.
Hal ini bisa dibawa ke ranah PWI bahwa kongres adalah air besar sebagai sarana tertinggi terjadinya perubahan. Perubahan itu bisa person dan juga kebijakan. Namun menurut hemat saya, sanksi yang telah dikeluarkan DK akan tetap berlaku sepanjang belum dibatalkan oleh DK -PWI yang memberi sanksi. Malah mungkin ditingkatkan lebih serius dengan alasan pembangkangan.
Sebagai contoh, Zulkifli Gani Ottoh. Pada priode setahun masa skorsing itu jelas menantang keputusan DK. Menurut perhitungan saya dialah yang seperti “menebar angin menuai badai”. Zugito justeru menumpuk begitu banyak perannya di satu tangan. Dia Ketua Tim Penyempurnaan PD PRT, dia juga Ketua Panitia Pengarah, dan dia juga yang memimpin Sidang Pertama Kongres yang seharusnya sesuai kelaziman, Pimpinan Sidang oleh Pengurus PWI Pusat lengkap. Tidak heran jika ada kabar Zugito dua kali dirujuk ke UGD RS di Bandung karena gejolak asam lambung. Saat dalam keadaan masih sakit perut pun masih memaksakan diri memimpin sidang, akibatnya 30 kali mendapat intrupsi dari floor karenaterbukti Zugito tidak bisa konsentrasi memimpin sidang kongres.
Sanksi teguran keras, skorsing, dan pemberhentian tetap Ketua PWI Sumbar dan Jambi serta teguran kepada petinggi pengurus harian pusat (Atal, Mirza dan Zugito) telah dilaporkan dalam kongres sebagai sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Kongres XXV di Bandung dan floor menerima pertanggungjawaban DK-PWI.
Seperti diketahui, DK PWI memang tidak punya wewenang polisional untuk melaksanakan keputusannya. Pelaksana keputusan itu adalah PH PWI lalu. Karena Ketua Umum PWI baru telah terpilih, maka dialah yang akan melaksanakan keputusan DK yang lama. Kita tunggu saja. Pasti bakal seru lantaran Ketua DK PWI yang baru Sasongko Tedjo, notabene Sekretaris DK PWI lama yang ikut menandatangani seluruh sanksi DK PWI lama.
Discussion about this post