Oleh Syafri Piliang
Wartawan Muda
Di negeri yang dulu dikenal damai dan tertata, angin kini berhembus lain. Daun-daun mulai jatuh berguguran bukan karena pergantian musim, melainkan karena badai dari dalam. Negeri itu bernama Konoha, tempat yang selama ini menjadi simbol keteraturan, tiba-tiba saja sontak berubah menjadi panggung kekacauan yang sulit dipahami.
Beberapa waktu terakhir, publik menyaksikan situasi yang ganjil. Dalam diam, kapal besar bernama Konoha oleng di tengah samudera. Nahkoda dan para awaknya tampak kehilangan arah. Satu per satu dari mereka mencoba mencari sikoci untuk menyelamatkan diri, namun gelombang yang datang terlalu besar. Kapal itu akhirnya perlahan tenggelam di tengah hiruk-pikuk yang mereka ciptakan sendiri.
Tak ada badai yang datang tanpa awan hitam. Semua berawal dari gesekan kecil , antara kepentingan dan kekuasaan, antara logika dan perasaan. Di ruang-ruang rapat yang seharusnya menjadi tempat lahirnya keputusan rasional, kini justru bergema suara emosi dan ambisi.
Para penguasa tampak kehilangan keseimbangan. Rasionalitas yang dulu menjadi pegangan mulai luntur, digerus ego dan perasaan tersinggung. Psikis kekuasaan seolah tak lagi stabil, setiap langkah diwarnai kecurigaan, setiap kata bisa menjadi bara yang membakar lumbung jerami.
Dalam suasana seperti iru, rakyat hanya bisa menatap dengan mata nanar. Mereka menjadi penonton di panggung drama yang tak punya sutradara. Adegan demi adegan bergulir tanpa arah, dan tak seorang pun tahu kapan tirai ini akan ditutup.
Konoha dulu dikenal dengan prinsip kebersamaan. Tetapi kini, prinsip itu seakan hanya tinggal jargon. Dua sejoli kekuasaan yang seharusnya berjalan seiring, kini justru melangkah saling berlawanan arah. Komunikasi terputus, kepercayaan tergerus, dan yang tersisa hanyalah ruang kosong penuh prasangka.
“Rakyat seperti anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya bertengkar,” ujar seorang warga tua, lirih. Ia menatap ke jembatan kebar yang melintasi sungai Batanghari, seolah masih ingin percaya bahwa badai ini akan berangsur reda.
Namun di tengah riuh itu, suara rakyat nyaris tak terdengar. Mereka terjebak di antara dinding birokrasi dan kepentingan. Sementara elit sibuk menjaga citra dan posisi, rakyat kecil tetap berkutat dengan harga bahan pokok yang melambung, rakyat terhimpit oleh ekonomi yang amat sulit.
Sejarah mencatat, setiap negeri yang tumbuh bukanlah yang tanpa masalah, melainkan yang mampu menata ulang arah ketika oleng. Begitu pula dengan Konoha. Kapal ini masih bisa diselamatkan, asalkan nakhoda dan para awak mau menundukkan kepala sejenak, mendengar suara yang selama ini mereka abaikan yakni suara nurani dari rakyat jelata.
Sebab sesungguhnya, ketika emosi menguasai rasionalitas, yang tenggelam bukan hanya kapal, melainkan harapan ketika sama – sama berjuang untuk mengenang asa.Tanpa perjuangan negeri ini hanya tinggal cerita.***



Discussion about this post