Di kaki bukit yang dulu hijau meneduhkan, kini hanya tersisa tanah merah gersang, kering kerontangan. Pepohonan yang dulu berdiri tegak sebagai penjaga alam, telah tumbang tanpa ampun. Udara pagi tak lagi sejuk bercampur debu, menggigit paru-paru.
Sungai yang dulu airnya jernih, tempat ikan bermain dan mandi bagi anak -anak , kini terlihat keruh mungkin tercampur zat mecuri yang berbahaya bagi kesehatan. Kicauan burung di pagi hari hampir tak terdengar lagi. Ini bukan sekadar perubahan iklim akan tetapi ,ini merupakan jeritan sunyi dari alam yang telah tersakiti.
Terlihat disepanjang aliran sungai, entah sungai kecil ataupun besar, terdengar deruan suara mesin menderu dari hilir hingga mudik. Daratan tergirik seperti lobang tikus mengganga siap memakan korban. Ini salah siapa dan dosa siapa, tapi memang benar begitulah adanya.
Sepertinya, ilegal logging dan penambangan liar telah mengubah wajah sebagian dari negeri ini, yang dulu penuh kedamaian sontak berubah mencekam. Hutan ditebang tanpa rencana, tanah dikeruk, mencari emas tanpa ampun. Hujan yang turun deras seakan tak terbendung membawa malapetaka.
Di dharmasraya daratan rendah, bila hujan tiba, banjir dan tanah longsor menjadi langganan setiap tahunnya. Alam seolah membalas dendam, tapi yang jadi korban justru malah masyarakat kecil yang tak punya kuasa apa-apa selain berserah diri kepada-Nya.
“Setiap kali hujan, kami tak bisa tidur lelap, takut longsor datang lagi,” kata Raslan salah seorang warga kecamatan sembilan koto yang dulunya hasil pemekaran kecamatan pulau punjung, sembari menunjuk ke arah lereng bukit yang separuhnya sudah lenyap terbawa hujan deras tahun lalu.
Ironisnya, di sisi lain keuntungan dari kejahatan ini hanya dinikmati segelintir orang. Sementara, kerusakan yang ditinggalkan menjadi warisan pahit bagi generasi yang akan datang. Anak-anak tumbuh tanpa tahu bagaimana suara hutan saat fajar tiba, tanpa melihat satwa liar yang dulu berkeliaran bebas sesukanya.
Kini, alam tak lagi bersahabat dengan insan. Tapi sesungguhnya, bukan alam yang berubah. Kitalah yang mengkhianati alam semesta ini. Akan kah masalah ini dibiarkan begitu saja? dan bagaimanakah acara pencegahannya? Entahlah tampak makin runyam saja.
Di sisi lain negeri ini telah mengalami devisit anggaran memang begitulah setiap tahunnya. Dan ditambah lagi kebijakan pemerintah pusat terkait dengan efisiensi anggaran semuanya terpangkas hanya tersisa separoh seperti cerita negeri dongeng saja tanpa ampun.
Sementara itu, masyarakat saat ini, menjerit menghadapi himpitan beban ekonomi dan kebutuhan hidup yang sangat sulit.Tentunya yang dirasakan masyarakat di tengah situasi devisit anggaran dan upaya efisiensi oleh pemerintah akan berdampak terhadap penurunan kualitas atau Kuantitas layanan publik.
Namun, hal yang dirasakan masyarakat saat ini terutama layanan fasilitas kesehatan yang sangat terbatas, pelayanan administrasi publik lebih lambat dan tidak seperti biasanya. Ketersediaan subsidi atau bantuan sosial yang mulai berkurang.
Di lain sisi peningkatan biaya hidup seperti pengurangan subsidi bisa menyebabkan kenaikan harga BBM, listrik, dan transportasi. Mirisnya yang merasakan hal ini, paling terdampak adalah masyarakat kelas menengah ke bawah yang hidupnya pas-pasan.
Dengan kondisi ini, masyarakat tertumpang pada eksekutif dan legislatif sebagai wakil rakyat. Tentunya, berupaya untuk mencarikan solusinya. Sehingga kehidupan masyarakat tidak lagi nergantung dengan cara merusak alam sekitar. Namun, yang minta itu, hanyalah komitmen pemerintah dalam merubah pola hidup, tanpa merusak apa yang telah diberikan sang pencipta jagat raya ini.
Discussion about this post