PADANG PARIAMAN – Kajari Pariaman dituding tidak transparan dalam menangani kasus-kasus korupsi yang berada di wilayah hukumnya, terutama di Kabupaten Padang Pariaman. Buktinya Kejaksaan Negeri Pariaman diduga kuat “bermain” dengan penanganan kasus korupsi dana PKK tahun 2012 dan 2013.
Bahkan sejauh ini, tidak jelas bagaimana proses penanganan kasus-kasus korupsi yang berada di kejaksaan akibat tidak adanya ruang keterbukaan informasi publik.
Padahal diketahui, kasus yang melibatkan istri Bupati Padang Pariaman, Rena Ali Mukhni itu, tepatnya semasa Kajari Yulitaria menjabat, telah memasuki tahap penyidikan karena diduga merugikan keuangan negara dengan taksiran kerugian mencapai Rp400 juta.
“Dulu Kajari Yulitaria ketika kami temui di kantornya. Saat itu kami mempertanyakan kelanjutan kasus dana PKK. Kajari Yulitaria mengatakan pada kami, bahwa Buk Rena sempat memohon dan menangis padanya,” papar Zulnasri aktifis sekaligus wartawan di salah satu media cetak mingguan mengulas.
Anehnya, Kajari Efrianto kepada media, Rabu (9/10), menyebut bahwa dia tidak bisa berkomentar tentang tindak lanjut penanganan kasus PKK tersebut sewaktu ditangani oleh Kajari Yulitaria. “Kalau soal itu saya no coment. Karena berkasnya tidak ada kami temukan,” katanya mengelak.
Lebih jauh Efrianto mengatakan, dia hanya mengetahui kasus tersebut pernah dilaporkan oleh LSM Penjara tanggal 23 November 2016. Dan pada 2017, Kejaksaan Negeri Pariaman mengeluarkan surat perintah tugas (Sprintug) untuk pengumpulan data bahan dan keterangan (pulbaket).
“Yang kita tahu ada laporan LSM Penjara tanggal 23 November 2016. Tahun 2017 Kajari Yosia Koni mengeluarkan Sprintug pengumpulan data. Maka didapati hasil laporan BPK tahun 2013. Asal dana dari hibah APBD. Juni 2014 uang dikembalikan ke kas daerah oleh Ketua PKK. Dari hasil rekomendasi BPK menyatakan tim anggaran tidak tertib dan cermat dalam mengelola dana hibah. Sehingga diberlakukan sangsi administrative. Di sana tim berkesimpulan tim anggaran tidak selektif. Dan tidak ada ditemukan kerugian negara,” katanya lagi.
Ironisnya lagi, Kajari Efrianto terkesan membela dengan menyimpulkan sendiri bahwa tidak ada niat jahat (mens rea) dari Ketua PKK dalam menggunakan uang negara. Karena menurutnya, Ketua PKK telah mengembalikan yang menjadi temuan BPK tersebut. “Temuannya Rp150 juta. Saat itu dipergunakan untuk berpergian keluar negeri, Amerika, Prancis, Thailand. Jadi jauh-jauh hari Ketua PKK sudah mengembalikan uang tersebut sebanyak Rp150 juta. Jadi tidak ada mens rea atau niat jahat di situ. Dan kasus ditutup dengan kesimpulan berdasarkan Sprintug tanggal 7 dan 17 Februari 2017,” sebutnya tanpa memperlihatkan Sprintug dan surat tanda bukti pengembalian uang ke kas daerah yang dimaksud.
Di lain sisi, praktisi hukum Zulbahri, SH, menanggapi sinis pernyataan Kajari Efrianto. Dia mengatakan Kejaksaan Negeri Pariaman telah melanggar UU KIP karena tidak adanya ruang keterbukaan informasi publik yang disediakan kejaksaan dalam menangani kasus korupsi.
“Kejaksaan dalam menangani kasus korupsi tidak ada kejelasan. Kalau kejaksaan ingin menutup sebuah kasus harus menjadi konsumsi publik. Beda jika sedang menangani kasus menyelidik atau menyidik baru bisa dikatakan rahasia. Lha, ini kasus ditutup tetapi Sprintugnya tidak dilihatkan. Lalu bukti uang itu sudah diganti, kan tidak diperlihatkan juga. Semua itu harus jelas,” tandasnya.
Zulbahri juga menilai sejumlah kejanggalan lainnya dalam penanganan kasus dana PKK yang menyeret istri Bupati Padang Pariaman itu. Pasalnya, secara hukum perbuatan tersebut telah terjadi. “Itu kan aneh namanya. Karena uang dikembalikan ke kas daerah, secara hukum perbuatan itu sudah terjadi. Dalam hukum pidana, yang dihukum itu adalah perbuatannya. Lalu jaksa menyimpulkan tidak ada mens rea (niat jahat) di sana. Kan lucu, yang memutuskan ada atau tidak niat jahat itu hakim. Bukan jaksa. Dan kalau tidak salah itu kesaksian PPTK-nya dulu kerugian mencapai Rp400 juta,” terangnya.
Sementara itu, Ketua LSM Penjara Amril Efendi yang dihubungi media membenarkan telah membuat laporan dugaan korupsi dana PKK ke Kejaksaan Negeri Pariaman. “Iya benar. Dulu tahun 2016 kita laporkan dugaan korupsi dana PKK ke kejaksaan. Arsipnya masih disimpan. Kalau tidak salah kerugian dana yang diduga diselewengkan itu sekitar 400 jutaan,” sebut Amril.
Di saat bersamaan, Ali Nurdin, Ketua LSM Gempur kepada media menambahkan. Dirinya berharap kejaksaan proaktif dan professional dalam menangani kasus-kasus korupsi di Padang Pariaman. “Kita berharap kejaksaan proaktif dan professional dalam memberantas kasus-kasus korupsi yang ada. Jangan terus-terusan begini lah. Tidak ada kejelasan sama sekali. Setiap laporan dugaan korupsi yang dilaporkan masyarakat tidak ada tindak lanjutnya. Kejaksaan diam. Jangan nanti stigma negatif kejaksaan dituding melindungi koruptor itu melekat. Apalagi kasus dana PKK ini dulu berada di tingkat penyidikan semasa Yulitaria. Kok sekarang ditutup,” timpalnya heran.
Discussion about this post