Oleh Syafri Piliang
Wartawan Muda
Dharmasraya – Di Koto Baru
Sabtu Sore menjelang magrib (25/10/2025), matahari baru saja naik ketika Benhard, ST, berdiri di tepi jalan lintas Sumatera. Dengan tangan menunjuk ke arah jalan yang retak dan bergelombang, ia menggeleng pelan. “Kalau begini terus, jalan ini bukan penghubung antar provinsi lagi. Sudah seperti jebakan Batman,” katanya, setengah berkelakar setengah mengeluh.
Di hadapannya, truk-truk besar lalu lalang membawa muatan berat. Di beberapa titik, genangan air menutup lubang-lubang dalam yang menganga di tengah badan jalan. Pengendara sepeda motor terpaksa memperlambat laju, meniti pinggiran jalan agar tak tergelincir. Tak sedikit dari mereka yang terjatuh karena salah perhitungan.
“Sudah banyak korban kecelakaan di sini,” ujar Benhard. “Bahkan jalan yang sudah dirigit beton pun mulai retak. Ada badan jalan yang turun, tapi sampai sekarang belum diperbaiki oleh BPJN Wilayah V Sumbar,” tegas Ex anggota DPRD Dharmasraya periode 2014 – 2019 yang juga sebagai tokoh pemekaran.
Jalan nasional yang melintasi Dharmasraya sepanjang sekitar 64 kilometer ini sejatinya menjadi jalur vital. Ia menghubungkan Sumatera Barat dengan Jambi, mengalirkan logistik, hasil pertanian, dan kebutuhan harian masyarakat antar wilayah. Namun, di banyak bagian, permukaannya kini jauh dari kata layak.
Setiap kali musim hujan datang, air tergenang karena drainase yang buruk. Beton kuat sekalipun tak mampu bertahan lama bila pondasinya terus digerogoti air. Ditambah lagi, muatan truk yang melebihi tonase mempercepat kerusakan.
“Masalahnya bukan hanya di kualitas perbaikan,” kata Benhard. “Tapi juga di pengawasan. Selama masih ada kendaraan dengan muatan berlebih lewat setiap hari, jalan apa pun akan cepat rusak.”
Warga Koto Baru dan sekitarnya sudah lama menunggu perbaikan. Mereka ingin jalan yang aman untuk dilalui anak sekolah, pedagang, dan pengendara biasa. “Kalau hujan lebat, kami sering tidak berani keluar malam. Banyak lubang tak terlihat,” ujar Buyung Aceh pemilik orgen tunggal BA yang rumahnya hanya beberapa meter dari pinggir jalan Nasional itu.
Bagi mereka, jalan bukan sekadar infrastruktur. Ia adalah nadi kehidupan yakni tempat ekonomi bergerak, di mana hasil sawit dan karet dikirim ke pasar, di mana anak-anak menuju sekolah, dan di mana ambulans membawa pasien menuju rumah sakit di kota.
Tapi harapan itu kadang terasa jauh. Seperti permukaan jalan yang terus menurun, kepercayaan warga pun perlahan ikut tergerus.
“Yang kami butuhkan cuma satu,” ucap Benhard menutup pembicaraan. “Jalan yang benar-benar diperhatikan, bukan tambal sulam yang menunggu rusak lagi.”***



Discussion about this post