Pariaman — Dugaan pungutan liar di MTsN Kota Pariaman menyeret Kementerian Agama ke tengah pusaran krisis etika dan transparansi. Bukan hanya persoalan administrasi, kini menyentuh jantung persoalan integritas lembaga agama dalam menyikapi kebenaran dan kritik publik.
Alih-alih membuka ruang dialog, Kemenag Kota Pariaman justru memilih jalan tertutup: menggelar klarifikasi sepihak tanpa menghadirkan pelapor atau wartawan, lalu melecehkan profesi wartawan yang mengungkap kasus ini.
Fungsi Humas Kemenag justru dinilai sebagai corong pembenaran, bukannya menjelaskan, justru menuding dan menghina pers yang datang dalam perannya sebagai pilar keempat demokrasi.
Dalam pernyataan mengejutkan, Humas Kemenag Kota Pariaman menyebut kehadiran wartawan sebagai “undangan pihak tertentu”, seolah-olah peliputan ini adalah skenario jahat.
“Setiap ada wartawan yang datang, saya dicurigai mengundang mereka,” ucap Humas Kemenag saat dikonfirmasi.
Pernyataan ini tidak hanya menunjukkan sikap paranoid dan anti-kritik, tapi juga mencerminkan bagaimana lembaga yang seharusnya melayani masyarakat malah merasa terganggu oleh suara publik.
Tak berhenti di situ, Humas Kemenag bahkan menjatuhkan martabat jurnalis dengan menyebut mereka “wartawan bodrek” di ruang publik. Sebuah penghinaan terbuka terhadap profesi yang dilindungi undang-undang dan berperan penting dalam kontrol sosial.
“Kami datang karena ada pengaduan dari masyarakat, bukan diundang siapa pun. Tapi kami justru difitnah dan dihina. Ini bukan sekadar arogansi, ini upaya pembungkaman,” tegas seorang jurnalis dari tim peliput.
Klarifikasi Palsu, Bertolak Belakang dengan Pengakuan Kepala Sekolah
Fakta lebih mencengangkan, klarifikasi yang dibacakan Kemenag bertolak belakang dengan pengakuan kepala MTsN sebelumnya yang secara terbuka membenarkan adanya pungutan. Di sisi lain, para wali murid juga melaporkan telah menerima perlakuan kasar saat mempertanyakan pungutan di sekolah.
Sikap tertutup ini menimbulkan kecurigaan publik bahwa ada upaya sistematis untuk menutupi kebenaran.
“Kalau tidak ada yang ditutup-tutupi, mengapa takut menghadapi wartawan? Mengapa malah menyerang mereka?” tanya seorang aktivis pendidikan lokal.
Untuk Apa Humas Jika Menebar Fitnah dan Memprovokasi?
Dalam situasi ini, publik wajar bertanya apa sebenarnya fungsi Humas di Kemenag jika kerjanya justru memecah belah, menyebar tuduhan, dan memutarbalikkan kenyataan?
“Humas seharusnya jadi jembatan kebenaran, bukan alat untuk mengadu domba dan membungkam kritik,” ucap salah seorang wartawan senior dengan nada geram.
Tuntutan Terbuka: Kemenag Provinsi Harus Bertindak
Tim media mendesak Kemenag Provinsi Sumatera Barat segera turun tangan, menindak Humas Kemenag Kota Pariaman atas pernyataan yang tidak hanya melukai profesi jurnalis, tetapi juga mengganggu integritas lembaga.
“Kami bukan musuh. Kami hanya menjalankan tugas kontrol sosial. Tapi justru dihina oleh pejabat negara. Ini pelecehan terhadap demokrasi,” ujar salah satu jurnalis media lokal.
Menurutnya, ini bukan lagi isu pungutan, ini soal siapa yang menjunjung kebenaran, dan siapa yang menyembunyikannya.
“Jika lembaga keagamaan yang dibiayai oleh rakyat tak sanggup menerima kritik dan justru membalas dengan fitnah dan penghinaan, maka rakyat berhak mempertanyakan
siapa yang sebenarnya mereka layani, kebenaran, atau kekuasaan?” tanya jurnalis itu menekankan. (Een)
Discussion about this post