Polemik perebutan jabatan Ketua DPRD Kota Pariaman yang dijabat Fitri Nora dari Partai Gerindra sebagai partai pemenang pemilu di Kota Pariaman, agaknya sengaja dicipta kondisikan. Sehingganya polemik itu terus dimainkan.
Tak ada yang mengetahui pasti, motivasi apa yang sedang dibangun oleh Harpen Agus Bulyandi (HAB), dan diamini oleh Andre Rosiade, hingga ngotot melakukan “rudapaksa” terhadap jabatan Fitri Nora, yang notabene merupakan tokoh perempuan berprestasi dalam kancah perpolitikan daerah.
Tak heran, hampir seluruh tokoh eksponen dari berbagai kalangan di Piaman Laweh (Kab. Padang Pariaman dan Kota Pariaman), dan Sumatera Barat umumnya, mengecam tindakan delegitimasi itu. Sebab dinilai sebagai upaya “rudapaksa” terhadap hak politik dan harga diri perempuan yang tak beretika.
Bahkan, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) ikut bersuara melayangkan surat keberatannya ditujukan kepada Partai Gerindra.
Ketua Presidium Koalisi Perempuan Indonesia, Tanty Herida menilai surat keputusan DPP Gerindra tentang pergantian Ketua DPRD dan Ketua Fraksi Partai Gerindra Kota Pariaman telah menciderai demokrasi. Lebih-lebih mengingat raihan suara Fitri Nora di pemilu 2019 mendapat suara terbanyak.
Dalam surat yang diterima penulis, Koalisi Perempuan Indonesia sangat keberatan dengan keputusan partai Gerindra. Sebab menurutnya, proses pemberhentian Fitri Nora dari jabatan ketua DPRD yang tidak melalui proses dan mekanisme yang jelas tersebut, merupakan pengkebirian kepemimpinan perempuan.
Lebih jauh KPI wilayah Sumatera Barat mempertanyakan dasar hukum pelengseran Fitri Nora dari Ketua DPRD Kota Pariaman.
“Apakah beliau melanggar AD/ART Partai Gerindra? Apakah beliau korupsi? Apakah beliau mencemarkan nama baik partai?” Tulis KPI yang dinukilkan dari surat keberatannya.
Menurut KPI, ketidakadilan yang dilakukan Partai Gerindra kepada Fitri Nora yang seyogyanya berperan besar dalam membesarkan nama Partai Gerindra di Kota Pariaman, telah mengkebiri kesetaraan dan keadilan gender. ***
Discussion about this post