Oleh Syafri Piliang
Wartawan Muda
Dharmasraya – Di balik dentuman mesin yang meraung di sepanjang Jalan Lintas Sumatera, Nagari Sungai Rumbai menyimpan luka menganga. Tak bersuara, namun tajam mengiris. Lubang-lubang dibahu dan di badan jalan kini menjelma menjadi perangkap maut yang menunggu mangsanya saat hujan menyamarkan luka itu dengan air.
Bagi warga, ini bukan sekadar jalan berlubang. Ini adalah nyawa yang dipertaruhkan, setiap kali roda motor berputar dan mobil melewatinya. Hujan turun, air menggenang, dan lubang-lubang itu lenyap dari pandangan mata, namun tidak dari ancaman.
“Sudah banyak pengendara roda dua yang terjatuh, apalagi malam hari. Lubangnya jalan rata dengan air, tak kasat mata, langsung masuk,” ujar Rina 45 tahun yang merupakan warga sekitar yang saban hari berjualan air kelapa muda, persis di depan lubang yang siap memakan korban itu pada Sabtu (26/07/2025).
Yang menjadi sorotan saat ini sikap dari pihak Balai Pelaksana Jalan Nasional Wilayah V Provinsi Sumbar, terutama PPTK 2.2, terkesan¹ menutup mata. Diam seribu bahasa saat tubuh jalan nasional ini berlubang, saat jeritan rakyat kecil hanya jadi gema di tengah heningnya birokrasi.
Lubang-lubang itu bukan baru, tapi sudah lama menganga, dan kini menjelma bak seperti ranjau senyap di tengah padatnya arus lalu lintas yang berlalu lalang . Di pagi hari, lubang itu menyambut anak-anak sekolah. Di sore harinya menyambut petani yang pulang dari ladang. Sementara di malam hari, menyambut pengendara yang hanya ingin pulang dengan selamat.
“Kami tak minta jalan tol, cukup jalan yang tak menggoda maut,” ucap merlin salah seorang pedagang kecil yang sedang berjualan di pinggir jalan itu.
PPTK 2.2 dan para pelaksana proyek seharusnya tidak hanya hadir saat proyek pencitraan diluncurkan. Jalan ini milik rakyat, bukan hanya deretan angka dalam laporan. Ketika lubang-lubang itu menelan korban, siapa yang bersalah? Cuaca? Warga yang tak hati-hati? Atau sistem yang bebal dan tuli?
Sumatera, dalam narasi pembangunan, disebut nadi ekonomi. Tapi nadi itu kini berlubang, robek, dan mengalirkan ancaman. Sungai Rumbai hanya satu dari banyak saksi bagaimana pembangunan bisa jadi paradoks. Di atas kertas: mulus. Di lapangan: berlubang.
Lubang-lubang ini adalah simbol. Simbol kelalaian yang terus diwariskan dari masa ke masa.Simbol janji yang tak ditepati.Simbol pembangunan yang kehilangan ruh keadilan.Ini, sebuah komitmen yang sudah terlupakan.
Sampai kapan warga mesti bersabar.? Apakah ini juga termasuk efisiensi anggaran..? entah lah. Dan sampai kapan birokrat hanya akan datang setelah korban jatuh, bukan sebelum tragedi terjadi menimpa warga.
Terkait dengan jalan nasional yang rusak dan tidak kunjung diperbaiki dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kemudian
di Pasal 24 ayat (1) disebutkan “Penyelenggara jalan wajib segera dan patut memperbaiki jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan kecelakaan lalu lintas.
Sedangkan di Pasal 24 ayat (2) juga disebutkan “Dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan jalan yang rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara jalan wajib memberikan tanda atau rambu pada jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Artinya: Jika jalan berlubang, dan tidak segera diperbaiki atau tidak diberi rambu/tanda peringatan, maka dalam hal ini pihak yang lebih bertanggung jawab atas jalan tersebut bisa dimintai pertanggungjawaban hukum.
Tenrunya masyarakat bisa mendapatkan kepastian dari kompensasi serta gugatan bagi mereka yang mengalami kerugian baik luka-luka, kerusakan kendaraan, atau kehilangan jiwa ( meninggal), berhak mengajukan gugatan perdata untuk ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata yakni tentang perbuatan melawan hukum.
Kemudian diperkuat oleh Pasal 1365 KUHPerdata:“setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu dan mengganti kerugian tersebut.
Karena jalan nasional di bawah naungan pemerintah pusat instansi yang bisa digugat dalam hal ini pihak PJN, maka pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban adalah pihak balai pelaksana jalan nasional (BPJN) Wilayah V Sumbar dan Kementerian PUPR melalui pihak balai baik PPK maupun PPTK nya.
Tentunya terkait dengan masalah hukum banyak warga yang kurang paham, lantaran mereka buta terhadap hukum yang ada negeri ini. Terlebih lagi terkait dengan UU kecelakaan di jalan berlubang seperti jalan nasional kurang di sosialisasikan kepada masyarakat sebagai pengunana jalan.****
Discussion about this post