Oleh Syafri Piliang
Wartawan Muda
Dharmasraya – Sore itu langit terlihat agak mulai mendung, tapi tidak gelap benar. Di beranda rumahnya, H. Amrizal, Dt. Rajo Medan, duduk tenang dengan secangkir kopi yang mengepul pelan. Nada bicaranya datar, tapi kata-katanya mengandung makna yang dalam,“Menjadi wakil bupati itu bukan perkara duduk di kursi nomor dua. Tapi tentang menjaga keseimbangan di tengah dua kutub, kekuasaan dan kesetian.
Sebagai Ex Wakil Bupati Dharmasraya periode 2016 – 2021, Amrizal tahu betul bahwa jabatan “wakil” seringkali menempatkan seseorang di ruang abu-abu. Ia bukan bawahan, tapi juga bukan pemegang kuasa penuh. Dalam istilahnya sendiri, “wakil adalah mitra, bukan pelengkap.”
Menurutnya, secara formal posisi itu telah diatur dalam PP Nomor 13 Tahun 2019 tentang Laporan dan Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Tugasnya jelas: membantu bupati dalam penyelenggaraan pemerintahan. Namun dalam praktik, yang terjadi di lapangan jauh lebih kompleks daripada sekadar menjalankan perintah.
“Wakil itu kadang harus maju, terkadang menahan diri. Harus tahu kapan bicara dan kapan diam,” ujarnya dengan nada pelan, tapi penuh arti. “Karena satu langkah keliru bisa menimbulkan tafsir politik yang panjang.
Ia mengaku sudah mencicipi segala rasa selama mendampingi bupati, manis, getir, bahkan getir yang lebih pahit dari kopi pagi. “Ada saat-saat di mana kita harus menerima keputusan tanpa sempat diajak bicara. Tapi di situlah seni berpolitik, namun kita tetap bersikap tenang tanpa kehilangan arah,” katanya.
Dalam ingatannya, kekuasaan di daerah bukan hanya soal kebijakan dan proyek. Ia adalah arena ego, loyalitas, dan kesetiaan yang sedang diuji pada setiap waktu. “Kalau tidak sabar, bisa habis di tengah jalan,” ujarnya lirih.
Amrizal percaya, seorang wakil bupati harus menjadi penyeimbang. “Kalau bupati adalah nakhoda, wakil itu bukan penumpang. Ia navigator,” katanya. “Tugas kita memastikan kapal tidak oleng, meskipun kadang angin berembus kencang dari arah yang tak diinginkan.
Kini, setelah masa jabatannya usai, Amrizal lebih banyak mengamati dari kejauhan. Tapi matanya masih menyala ketika bicara tentang pemerintahan. “Saya hanya berharap yang duduk di kursi itu sekarang belajar dari pengalaman, jangan biarkan ego memisahkan kita dari pasangan kerja. Karena di situlah awal retaknya kepercayaan dan ketidak harmonisan.
Di beranda rumahnya, kopi yang tadi masih hangat, kini mulai terasa mendingin. Tapi kalimat terakhirnya tetap hangat terngiang ditelinga, “Menjadi wakil adalah sebuah tentang untuk bisa menahan diri, tapi juga tahu kapan harus tetap berdiri begitulah irama sebagai wakil bupati dan tak perlu menyosong badai politik praktis kelak dapat merusak hubungan.***



Discussion about this post