Oleh Syafri Piliang
Wartawan Muda
Dharmasraya – Di antara setiap helai daun sawit yang bergoyang diterpa angin senja, ada suara lirih yang tak pernah terdengar oleh ruang rapat para direksi perusahaan. Suara itu lantang milik para petani, pemilik sejati tanah dari tandan buah segar (TBS), malah perlahan merasa terasing di atas tanah mereka sendiri.
Mereka menjual hasil keringatnya ke pabrik, namun yang sampai hanya sisa dari janji. Harga dipotong dengan alasan klasik. Katanya bercampur tanah, pasir, dan sampah. Tapi benarkah hanya itu.?.Sebab ada bisik-bisik di antara tumpukan berkas, bahwa potongan-potongan itu diduga kuat disulap menjadi dana CSR.
Corporate Social Responsibility ( CSR), memang salah satu bentuk tanggung jawab sosial bagi setiap perusahaan terhadap dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan usahanya. Bantuan ini meliputi pendidikan, kesehatan dan sosial. Yang dipertanyakan terkait dana CSR tersebut diambilkan dari mana.?Apakah dari hasil keuntungan perusahan atau malah sebaliknya.
Selain itu, CSR juga di pergunakan untuk pelestarian lingkungan, pemberdayaan masyarakat yang berada di sekitar perusahaan hingga ke pengembangan infrastruktur desa atau nagari yang dilalui oleh pihak perusahaan.Selain itu CSR juga diberikan ke warga tersampak seperti banjir dan tanah longsor.
Namun, tujuan utama CSR agar setiap perusahaan tidak hanya mencari keuntungan dimana tempat perusahaan itu berdiri, tetapi juga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan yang berada di kawasan itu.
Petani tidak pernah diajak bicara, hanya diajak percaya. Dan setiap kali timbangan berkurang, senyum petani pun sontak ikut terpangkas. Perusahaan tak mau rugi, itu wajar. Tapi mengapa yang menanggung rugi harus selalu petani. Apa alasan dibalik ini semua, petani bukan tidak tahu.
Suara dari petani Andi warga pulau punjung. Katanya yang lebih memiriskan lagi di saat malam turun dan gelap mulai membungkus kebun, para pencuri datang. Mereka bukan Robin Hood, bukan pula orang yang sedang kelaparan. Mereka tahu celah hukum, asalkan curiannya tak lebih dari Rp 2 juta, hukum tak bisa menjamah, itu bukan cerita , tapi memang benar adanya.
Kondisi ini sebut Andi lagi, telah membuka peluang untuk tumbuhnya ninja-ninja TBS yang gesit dan licik. Petani hanya bisa pasrah sembari mehela nafas panjang. Meski dilaporkan laporan hanyalah jadi catatan di map kusam, digantung di meja petugas yang sedang sibuk,” timpalnya.
Sampai akhirnya, keadilanpun dicari dengan tangan sendiri. Main hakim sendiri bukan karena brutal, tapi karena lelah menunggu hukum yang hanya tajam ke atas, tumpul kebawah. Jika tertangkap di kebun, sang pencuri bisa kena bogem mentah atau lebih. Ini bukan dendam, ini jerit frustrasi yang tak tertampung oleh sistem,” ungkap Andi sembari mengeluh buah TBS nya pernah dicuri.
Negeri agraris yang katanya kaya, sedang menyaksikan paradoks pahit, CSR dipoles dan diberikan narasi indah biar sedikit lebih elok di akhir laporan tahunan. Namun di akar rumput, yang tumbuh adalah luka dan ketidakpercayaan.
Mungkin Sudah Waktunya Kita Bertanya
Apakah keadilan hanya untuk yang punya saham dan berdasi.
Sementara petani dibiarkan berunding dengan tanah dan penderitaannya sendiri. Sawit tak hanya menghasilkan minyak, tapi juga meninggalkan duka mendalam yang tak bisa disuling di pabrik mana pun yang berada di negeri yang berjuluk petro dolar ini.
Dengan kondisi ini pemerintah daerah harus turun tangan, kendati warga diberikan CSR, hanya saat musibah melanda negeri ini seperti banjir dan tanah lonsor pada 2024 lalu. Tapi, ingatlah satu hal bantuan yang diberikan oleh pihak perusahaan itu masih uang petani juga hilang ketika TBS nya di jual ke pabrik yang nilainya mungkin mencapai ratusan juta rupiah per hari. Apakah ini yang namanya keadilan..?. ****
Discussion about this post