Oleh Syafri Piliang
Wartawan Muda
Jakarta – Di balik meja rapat Badan Gizi Nasional (BGN) di Jakarta, Selasa (26/08/2025), suara Bupati Dharmasraya, Annisa Suci Ramadhani, terdengar tegas namun menyimpan raut wajah gundah kulana. Ia datang bukan sekadar membawa data dan fakta, melainkan membawa wajah-wajah murid sekolah dasar yang menunggu sepiring makan bergizi di pelosok kampung.
Di hadapannya, angka-angka berbicara getir. Dari 28 dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dijanjikan akan lahir lewat investasi swasta, hanya dua yang benar-benar menyalakan tungku. Satu dapur di Kecamatan Tiumang sudah beroperasi, satu lagi dapur alinia baru setengah berdiri. Sisanya hanya masih berupa kertas perjanjian, papan nama, atau bahkan sekadar niat yang masih menggantung.
“Kalau 45 hari tak ada progres, jangan biarkan janji-janji menggantung dilangit.Tapi, serahkan saja pada yang lebih serius,” ujar Annisa, suaranya bak seperti palu kecil yang sedang mengetuk meja.
Di balik kalimat itu, tersimpan keresahan, anak-anak sekolah di dharmasraya lantaran ia sudah menunggu aroma nasi hangat dan lauk pauk bergizi, tapi yang datang baru asap tipis dari dapur-dapur yang tak kunjung berdiri.Janji yang tak boleh hanya berupa tinta.
Program MBG di ranah cati nan tigo itu sebetulnya lahir sebagai ikhtiar memutus rantai gizi buruk, agar generasi pelajar tumbuh kuat, bukan sekadar kenyang. BGN menargetkan November 2025, seluruh dapur harus sudah berdiri. Waktu kian sempit dan mendesak, sementara tungku-tungku janji masih terasa dingin.
Annisa yang akrap disapa caca tak menutup mata, sistem sudah terkunci, izin sudah diberikan, tapi keseriusan investor justru menguap. Mayoritas masih menunda, bahkan ada juga yang belum menyentuh tanah lokasi sama sekali.
“Anak-anak kita tidak bisa hidup dari janji,” tegasnya dengan berharap, ia menyuarakan apa yang mungkin juga terlintas di benak para orang tua di kampung bahwa gizi bukanlah wacana, melainkan kebutuhan nyata yang seharusnya sudah terlaksana.
Koordinasi dengan BGN, menurut Annisa, bukan hanya soal administrasi. Ini adalah ujian kepercayaan: apakah investor yang masuk ke Dharmasraya benar-benar peduli, atau sekadar ingin menempelkan nama tanpa kerja nyata.
“Kalau dapur lamban berdiri, yang terbuang bukan hanya waktu, melainkan masa depan anak-anak kita,” ucapnya lirih.
Kalimat itu seakan menjadi pengingat bahwa gizi bukan sekadar program pemerintah, tapi fondasi awal bagi sebuah bangsa. Di ruang rapat Jakarta yang dingin, bayangan bocah-bocah berseragam putih merah itu terasa hadir, menagih sepiring nasi, sepotong lauk, dan segelas susu.
Di ujung pertemuan, Annisa memberikan tanda, bumi anyar tak akan menunggu selamanya. Investor yang tak serius akan disisihkan, karena tungku dapur harapan. Ini , harus segera menyala. Sebab, di luar sana, ada generasi yang tengah menanti, dengan perut kosong yang tak bisa diisi janji, dengan masa depan yang tak bisa ditunda.***
Discussion about this post