Bukittinggi — Penyakit Masyarakat (Pekat) dan Penyandang Masalah Kesejahteraan (PMKS) lebih dirasakan dampaknya oleh masyarakat dan pemerintah perkotaan. Berbagai upaya pun terus dilakukan.
Termasuk di Bukittinggi, sehingga Pemerintah Kota terus memperkuat komitmennya dalam menanggulangi pekat dan PMKS dengan pendekatan yang lebih kolaboratif dan manusiawi.
Komitmen tersebut diwujudkan di ruang rapat markas komando (Mako) Dinas Satuan Polisi Pamong Praja (Dis Satpol PP) Bukittinggi, dilakukan penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) lintas sektor antara Satpol PP, Kementerian Agama (Kemenag), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dinas Kesehatan (Dinkes), serta Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3APPKB), Rabu (30/7).
Langkah dan kebijakan ini merupakan implementasi dari program unggulan Wali Kota dan Wakil Walikota Bukittinggi, Ramlan Nurmatias dan Ibnu Asis serta penerapan Peraturan Daerah (Perda) Kota Bukittinggi Nomor 2 Tahun 2024 tentang Ketentraman Masyarakat dan Ketertiban Umum (Trantibum), terutama pasal-pasal yang mengatur penanganan penyakit masyarakat seperti Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender (LGBT) dan praktik prostitusi.
Melalui kerja sama ini, setiap instansi diberi peran strategis sesuai dengan kapasitas dan kewenangan masing-masing. Satpol PP akan tetap menjadi garda depan dalam penegakan perda melalui razia lapangan dan tindak lanjut aduan masyarakat. Jika ditemukan pelanggaran, pelaku akan diproses sesuai aturan yang berlaku.
Dalam pelaksanaannya , Kemenag dan MUI akan mengambil peran penting dalam penyuluhan agama dan konseling spiritual guna memulihkan nilai-nilai keagamaan serta moral sosial bagi para PMKS.
Sedang Dinas Kesehatan diberi tanggung jawab untuk melakukan tes kesehatan, termasuk pemeriksaan HIV/AIDS, serta memberikan pengobatan lanjutan bila ditemukan kasus positif.
Untuk DP3APPKB akan memberikan pendampingan khusus, terutama jika PMKS yang terjaring merupakan perempuan atau anak.
Kepala Satpol PP Kota Bukittinggi, Joni Feri AP menegaskan bahwa kolaborasi ini bukan sekadar penandatanganan formal.
“Kita berharap kerjasama ini tidak sekedar menjadi dokumen formalitas, tetapi bisa diimplementasikan secara maksimal di lapangan. Jika seluruh pihak bergerak sinergis, dampak sosial dari keberadaan PMKS bisa ditekan seminimal mungkin,” tuturnya.
Program inisiatif ini menjadi tonggak penting dalam perubahan paradigma penanganan PMKS dari pendekatan yang cenderung represif menjadi pendekatan berbasis pemulihan dan reintegrasi sosial.
Semua pihak berharap, warga yang selama ini tersisih dari sistem sosial bisa kembali menemukan arah hidup yang lebih bermartabat, sekaligus menciptakan ruang publik yang tertib dan manusiawi. (*)
Discussion about this post