Ini aneh, Kapolres Kota Pariaman, Andreanaldo Ademi dengan serampangan menuduh wartawan tak beretika–saat–salah seorang jurnalis media online Lintas Media, Rita Arlen mencoba untuk mewawancarai dirinya melalui pesan WhatsApp pada Rabu (13/8/25).
Etika Jurnalistik dan Jurnalisme Bermutu
Sebagai jurnalis, agar menghasilkan karya jurnalistik bermutu, Arlen yang cukup senior sebagai wartawati itu menghubungi Andreanaldo–tak lain–ingin mengkonfirmasi kebenaran berita yang tayang di media investigasimabes.com. Perihal oknum anggota Andreanaldo yang diduga melakukan intimidasi dan penganiayaan terhadap anak di bawah umur saat asyik bermain bola.
Berita di investigasimabes.com itu menayangkan judul “Kapolres Pariaman Bungkam : Oknum Anggotanya lakukan Intimidasi dan Ancaman terhadap Anak Dibawah Umur dan Orang Tuanya”. Wajar, Arlen mengkonfirmasi kasus tersebut sebagai bahan informasi awal agar menjaga keberimbangan pemberitaan (cover both side) untuk dinaikkan di medianya.
Ihwal etika, tentu Arlen sangat mafhum di bidangnya yang telah belasan tahun ia geluti. Ia mengucap salam dan meminta izin sebelum memulai wawancara.
“Siang komandan, izin saya meneruskan berita ini,” tulis Arlen menjapri nomor WA Kapolres Andreanaldo dengan meneruskan tautan link berita yang dijelaskan di atas.
Di awal mukadimah memang Arlen belum menunjukkan identitas jurnalisnya. Ia memilih menunggu respon Andreanaldo lebih dulu sebelum meminta komentar. Ini hanya soal teknik wawancara saja. Tak ada hubungan dengan etika jurnalis. Ini merupakan salah satu trik wartawan untuk menggiring narasumber lebih terbuka.
Sebab dari 11 Pasal yang terkandung dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ), justru Arlen sedang berupaya memenuhi ketentuan di Pasal 3 dengan menguji informasi dan tidak menghakimi: “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah”.
Hanya saja Andreanaldo keburu kebakaran ekor dan langsung bereaksi atas berita kritik yang dirilis investigasimabes.com.
Sebab selang 81 menit kemudian suasana menjadi gaduh, tempramen Andreanaldo yang labil seketika memuncak, Andreanaldo menyerang Arlen menggunakan bahasa yang tak pantas, Andreanaldo dengan vulgar menghina profesi Arlen sebagai wartawan dan merendahkannya tanpa ba-bi-bu.
“Berarti wartawan bodrek ang mah, ndak monitor perkembangan,” balas Andreanaldo yang tentu saja membuat Arlen kelimpungan dan mengurungkan niatnya untuk melanjutkan konfirmasi kebenaran berita tadi.
Hinaan yang dilontarkan Andreanaldo sebagai kapolres, seyogianya pejabat publik yang siapapun berhak meminta informasi dari dirinya–apatah lagi wartawan yang dikenal sebagai mitra kerja Polri–tak secuilpun mencerminkan attitude Andreanaldo sebagai perwira menengah kepolisian.
Rapor merah atas etika berlembaga dan bermasyarakat Andreanaldo selaku pemimpin di Polres Pariaman pantas disematkan. Institusi Polri patut kiranya agar melakukan evaluasi menyeluruh kepada Andreanaldo.
Sudahlah menghina profesi wartawan dengan sebutan “wartawan bodrek”, Andreanaldo membumbui ucapannya dengan kata “ang”; dalam dialek Minang, lebih-lebih di Pariaman, konotatif kata “ang” bermakna kasar. Kata “ang” ini biasa digunakan preman pasar sebagai wujud kecongkakan.
Sedangkan peyorasi dari bahasa “wartawan bodrek” menggambarkan wartawan yang tidak profesional, tidak kredibel, bahkan dianggap abal-abal. Ucapan penghinaan yang sangat merendahkan profesi jurnalis sebagai pilar keempat demokrasi.
Diburu Wartawan, Andreanaldo Mainkan Jurus Playing Victim
Sikap playing victim Kapolres Andreanaldo ini kian mencerminkan kecongkakannya. Mencoba memutarbalikkan fakta. Ia mengaku dirinya merasa sebagai korban dengan menuduh wartawati yang mewawancarainya tak beretika. Etika yang mana dari 11 Pasal di KEJ yang dilanggar Arlen? Toh, Arlen berucap salam “selamat siang” dan meminta izin membagikan berita.
Jangankan wartawan, siapapun berhak membagikan pemberitaan kepada kapolres selaku pejabat publik jika kepentingannya untuk keterbukaan dan kebenaran informasi.
Tak hanya itu saja cara Andreanaldo berdalih, merasa dirinya benar setelah menghina profesi wartawan dan merendahkan jurnalis dengan kata-kata mutiara yang telah diucapkannya.
Dalam beberapa pemberitaan yang beredar di media online, Kapolres Pariaman ini menyesalkan munculnya pemberitaan sepihak yang dinilai tidak berimbang dan berpotensi menimbulkan salah tafsir di masyarakat.
Tentu alibi Andreanaldo ini tambah membuka tabir kepalsuan dirinya. Pasalnya, Andreanaldo diburu jurnalis agar memberikan konfirmasi atas kurenahnya yang dianggap telah melakukan penghinaan terhadap profesi wartawan kepada Rita Arlen.
Bagaimanapun wartawan adalah profesi yang dilindungi undang-undang, yang mana asas hukum atas profesi ini bersifat lex spesialis. Artinya lex specialis adalah asas hukum yang berarti “aturan yang bersifat khusus mengesampingkan aturan yang bersifat umum”.
Dengan kata lain, jika ada dua aturan hukum yang sama-sama berlaku tetapi salah satunya lebih umum (lex generalis) dan yang lainnya lebih khusus (lex specialis), maka aturan yang lebih khusus harus didahulukan penerapannya. Itu dari segi asas hukum, begitu dikhususkannya profesi ini.
Andreanaldo Tuding Berita Wartawan Tak Berimbang
Andreanaldo seketika bergeming dari kejaran jurnalis selang beberapa hari menghina profesi wartawan dengan sebutan “wartawan bodrek”. Bahkan Andreanaldo mengancam jurnalis akan mensomasi redaksi jurnalis yang mencoba mewawancarainya.
Seperti yang dialami oleh jurnalis Ikhlas Darma Murya (IDM). Pada Sabtu (16/8/25) siang, IDM mendapat indikasi ancaman dari Andreanaldo. IDM diancam akan disomasi oleh Kapolres Kota Pariaman tanpa diketahui penyebabnya.
“Ini BB sudah cukup untuk besok akan saya layangkan surat somasi ke redaksi anda. Berita investigasi harus langsung wawancara atau melalui surat. Namun hanya copy paste, dan menempel foto lama,” tulis Andreanaldo mengakhiri percakapan dengan mengirimkan tautan berita dari media investigasimabes.com yang mewartakan sikap bungkam kapolres terhadap kasus yang mendera anak buahnya akibat dugaan intimidasi dan penganiayaan.
Jelas berita di media itu tak ada hubungannya dengan IDM yang mencoba mengkonfirmasi Andreanaldo terkait ucapan penghinaannya kepada profesi wartawan.
Ketika itu IDM menghubungi Kapolres Andreanaldo via pesan singkat WhatsApp karena merasa terhina akibat profesi wartawan direndahkan. IDM meminta agar Kapolres Andreanaldo memberikan klarifikasi atas ucapan yang dilontarkan kepada Rita Arlen.
Setelah menyapa lantas meminta izin konfirmasi lewat pesan WhatsApp, IDM pun memperkenalkan diri dengan menunjukan identitas kewartawanan serta sertifikasi yang IDM punya kepada Andreanaldo. Ini adalah trik wawancara dengan urgensi mendesak.
Andreanaldo, bukannya menjelaskan alasannya, ujug-ujug malah mengajak IDM berdebat panjang lebar terkait pengetahuannya yang dangkal tentang kode etik jurnalistik (KEJ) dan dunia kewartawanan.
Alhasil, Andreanaldo yang mengaku paham dengan profesionalisme jurnalis serta media yang terdaftar dan terverifikasi di PWI, malah semakin menunjukkan ketidaktahuannya tentang dunia jurnalis. Sejak kapan PWI melakukan pendaftaran dan verifikasi kepada media?
Tak hanya IDM saja, beberapa rekan-rekan jurnalis seperti Heri Suger, Irvan dan lainnya dari media berbeda juga sudah berupaya meminta klarifikasi Andreanaldo, bahkan juga disurati resmi. Andreanaldo tak menjawab. Di mana letak pemberitaan tak berimbang?
Terpojok, Andreanaldo Coba Kriminalisasi Wartawan
Setelah berbagai usaha dicoba rekan-rekan jurnalis untuk melakukan konfirmasi kepada Andreanaldo terkait ucapannya tadi tidak berhasil, Andreanaldo yang terpojok terhadap ramainya pemberitaan yang ditayangkan di sejumlah media massa, tentu membuatnya tidak nyaman.
Di sinilah Andreanaldo kian menujukkan kesombongannya. Ia mencoba melaporkan sejumlah wartawan dengan mencari-cari celah pidana, termasuk dugaan pelanggaran ITE terhadap jurnalis.
Tentu sikap seperti ini merupakan bagian dari upaya pembungkaman terhadap kebebasan pers. Dia lupa, jika dia adalah seorang kapolres, pamen di institusi Polri, pejabat publik yang harusnya legowo dan bersikap ksatria mengakui kekhilafan saat kondisi sedang labil; mengingat 2 anggotanya terlibat kasus dugaan intimidasi dan kekerasan, serta kasus dugaan keterlibatan sebagai pemasok narkoba.
Benar saja, yang terjadi malah perlawanan dari awak media semakin massif, dukungan publik dan elemen masyarakat kepada wartawan kian hari terus membesar. Isu ini kian menjadi sorotan, tak menutup kemungkinan akan menasional mengingat upaya pembungkaman yang dilakukan Andreanaldo.
Akibatnya apa? Karir Andreanaldo di ujung tanduk. Dirinya akan dihadapkan dengan kondisi tekanan dari masyarakat luas dan juga indikasi pelanggaran etik oleh Propam yang dihadapinya di internal.
Lebih baik Andreanaldo menahan ego sektoralnya dengan legowo meminta maaf secara terbuka, ketimbang menghadapi persoalan yang bisa menghabisi karirnya di kepolisian sebagai calon jenderal. (TIM)
#TAJUK
Discussion about this post