Oleh Syafri Piliang
Wartawan Muda
Dharmasraya – Di bawah langit yang kadang cerah, kadang murung, lapangan hijau di Nagari Sungai Rumbai tak hanya menjadi saksi pertandingan bola kaki. Ia berubah menjadi panggung kebudayaan yang menyatukan akar-akar identitas. Jumat itu, gema sorakan tak hanya milik sportivitas, tapi juga milik sejarah yang perlahan ditulis: Turnamen Sepak Bola Antar Suku, ajang langka yang baru pertama kali digelar sejak Dharmasraya berdiri.
Resminya dibuka oleh Wakil Bupati Dharmasraya, Leli Arni, kegiatan ini bukan sekadar kompetisi, melainkan bentuk nyata dari silaturahmi lintas garis suku di dua nagari bertetangga, Sungai Rumbai dan Sungai Rumbai Timur. Ini bukan tentang siapa yang menang, tapi tentang siapa yang sanggup menahan ego, dan lebih memilih merayakan kebersamaan.
“Sepak bola ini bukan sekadar olahraga,” ujar Leli Arni dengan nada mengajak, “tapi juga sarana menjaga nilai adat, memperkuat solidaritas, dan membangun komunikasi lintas suku secara harmonis.”
Di tengah lapangan yang mungkin pernah jadi tempat bermain anak-anak kampung di masa kecil mereka, kini para pemuda turun dengan jersi kebanggaan suku masing-masing. Suku Piliang dan Suku Caniago membuka turnamen, saling menguji bukan untuk mengalahkan, tapi untuk merayakan bahwa perbedaan itu tak harus menciptakan jarak.
Nasrul Djalal Dt. Bandaro Mudo, dengan wibawa seorang ninik mamak, menyampaikan pesan lembut ke anak cucu keponakan kaum suku piliang namun tegas:
“Bermainlah dengan hati yang lapang. Kekompakan itu bukan hanya saat menyerang atau bertahan, tapi juga saat kita memutuskan untuk menjaga warisan ini, kebersamaan di tengah keberagaman.”
Turnamen ini melibatkan tujuh suku, seperti susunan pilar dalam rumah gadang: berdiri bersama, menopang bersama, tak boleh ada yang retak. Para tokoh adat, alim ulama, bundo kanduang, dan pemuda hadir bukan sebagai penonton, tapi sebagai penjaga semangat. Mereka adalah pagar nagari yang merangkul, bukan membatasi.
Di balik sorak sorai dan peluit wasit, terselip pesan dari sejarah: “Bahwa suku bukan untuk memisah, melainkan untuk memperkaya cerita kita sebagai anak nagari.” Dan sungguh, hari itu, sepak bola menjadi bahasa yang bisa dipahami oleh semua, tanpa harus saling menggurui, apalagi mencurigai.
H. Barizal, ketua pelaksana turnamen, menegaskan bahwa kegiatan ini akan berlangsung selama beberapa hari dengan sistem poin, bukan sistem gugur. Sebuah pendekatan yang seolah menyadarkan kita: hidup bukan soal siapa yang gugur cepat, tapi tentang siapa yang konsisten menjaga irama dan komitmen hingga akhir.
“Yang penting seluruh pemain dalam bermain harus suportif dan jaga tali persaudaraan antar suku,” ucapnya, menyematkan harapan pada generasi muda yang diimpikan tumbuh dalam semangat yang sama. Dan hari pertama ini yang akan bertanding antara Suku Piliang dengan Caniago.
Jika kita lihat di banyak tempat, suku bisa jadi alasan konflik. Tapi di Sungai Rumbai, hari itu, suku adalah alasan untuk berkumpul, menyapa, dan saling menyalami. Dan bola, yang bulat dan bergulir, menjadi simbol bahwa kita harus terus bergerak, kadang ke kiri, kadang ke kanan, tapi tujuan akhirnya tetap sama: gawang persatuan.
Untuk tanah yang memanggil lewat akar, dan sejarah yang bergulir di antara kaki anak nagari.
Selain Wakil Bupati juga terlihat hadir anggota DPRD Provinsi Sumbar Varel Oriano, ketua DPRD Dharmasraya Jemi Hendra, camat Sungai Rumbai Arwenta Bandaro Kuning, Wali Nagari Sungai Rumbai Sutan Rizki dan Wali Nagari Sungai Rumbai Timur Arisman, Bgd Sutan, Ketua Pemuda Toprizal tokoh adat, Niniak Mamak, Alin Ulama, Bundo Kanduang limpapeh rumah nan gadang dan Pemuda sebagai pagar nagari.****
Discussion about this post