Oleh : Syafri Piliang
Wartawan Muda
Dharmasraya – Pagi itu mulai menggeliat. Kabut tipis menempel di dedaunan sawit, suara azan subuh baru saja usai. Di antara hiruk-pikuk persiapan hari kerja, kantor bupati di Pulau Punjung terasa lebih hidup dari biasanya.
Sejak Bulan Februari lalu, satu nama membawa semangat baru yakni tentang Annisa Suci Ramadhani, perempuan muda yang kini menjadi Bupati Dharmasraya. Namun bukan sekadar semangat yang ia bawa. Annisa datang dengan sapu di tangan, membersihkan rumahnya sendiri.
Ketika dilantik, Annisa tidak butuh waktu lama untuk melihat kenyataan pahit. Banyak pegawai tak lagi terlihat di meja kerja. Ada yang absen berbulan-bulan, ada yang datang hanya untuk tanda tangan. Seolah kantor pemerintahan ini adalah tempat persinggahan sementara, bukan ruang pengabdian.
“ Ia sangat kaget, melihat kondisi itu dan ia pikir semua siap bekerja untuk rakyat. Ternyata ada yang bahkan tidak hadir berbulan-bulan. Saya harus bersih-bersih dulu agar bisa take off tanpa gangguan.”
Sejak itu, satu per satu nama muncul di daftar pelanggar disiplin. Ada yang dipanggil, ditegur, diperingatkan. Tapi ketika teguran tak diindahkan, Annisa mengayunkan pedangnya.
Enam aparatur sipil negara (ASN) sudah menerima sanksi berat. Empat di antaranya diberhentikan, dua dicopot dari jabatan struktural. Dan empat lagi kini sedang menunggu putusan akhir. Bagi Annisa, ini bukan sekadar penegakan aturan, ini tentang moralitas, tentang rasa malu yang mulai pudar di ruang birokrasi.
Annisa bukan tipikal pejabat yang pandai beretorika. Kalimatnya lugas, tapi mengandung amarah yang ditahan rapi. “Saya tidak ingin ada yang makan gaji buta,” tegasnya. “Kita digaji dari uang rakyat. Setiap rupiah punya makna, dan tanggung jawab moral.”
Ucapan itu terasa sederhana, tapi di baliknya ada keteguhan seorang pemimpin yang paham betul arti keadilan administratif. Latar belakang hukumnya memberi Annisa ketegasan, ia tahu celah, pasal, tapi lebih dari itu, ia tahu nurani.
Baginya, membiarkan pegawai yang mangkir berarti ikut bersekongkol dalam ketidakjujuran. “Kalau saya diam, artinya saya menyetujui ASN yang terang-terangan menerima gaji buta dari uang rakyat,” katanya pelan, tapi tegas.
Di banyak daerah, mesin birokrasi berjalan di atas rel kebiasaan, bukan kinerja. Ada yang datang, absen, lalu hilang entah ke mana. Sistem pun diam, tak ada yang menggugat. Annisa memutus rantai lingkaran itu.
“Memberhentikan ASN itu tidak mudah,” katanya. “Tapi kalau sudah melalui teguran lisan, surat peringatan, bahkan penghentian gaji, dan masih tidak berubah, untuk apa hal itu harus dipertahankan.
Keputusan seperti ini tak selalu populer. Ada bisik-bisik di lorong kantor, ada yang merasa terancam. Tapi Annisa memilih jalan yang lebih sepi dan hanya diam, tapi untuk menegakkan disiplin, meski sendirian.
Sebagai bupati perempuan pertama di Sumatera Barat, Annisa tahu sorotan publik selalu tajam. Namun ia tak ingin menjadi simbol semata. Ia ingin menjadi cermin bagi rakyat bahwa kepemimpinan bukan soal gender, tapi integritas.
“Pegawai ini di bawah kepemimpinan saya,” ujarnya. “Saya bertanggung jawab memastikan mereka bekerja, bukan berpura-pura bekerja.”
Di ruang kerjanya yang sederhana, tersimpan idealisme yang jarang dijumpai di politik lokal, keyakinan bahwa pemerintahan yang baik dimulai dari hal paling sederhana, hadir di tempat kerja dan bekerja dengan benar.
Kini, Annisa membuka ruang partisipasi publik. Ia meminta warga melapor bila melihat ASN yang malas atau menyalahgunakan jabatan dalam bekerja.“Ini bukan tentang balas dendam,” katanya. “Ini tentang membangun budaya malu, tentang menegakkan kepercayaan rakyat.”
Dharmasraya sedang berubah. Di bawah tangan Annisa, pemerintahan daerah itu perlahan menata diri. Di setiap meja kerja yang kembali terisi, di setiap pegawai yang datang tepat waktu, ada tanda bahwa sapu Annisa mulai bekerja.
Namun yang menjadi catatan bersih-bersih Annisa bukan sekadar langkah administratif, melainkan sebuah gerakan moral. Ia sedang membangunkan birokrasi yang sudah terlalu lama tertidur, menghidupkan kembali makna kata “mengabdi”.
Barangkali inilah yang paling manusiawi dari kepemimpinannya, ia tidak hanya sekadar menegakkan aturan saja, akan tetapi mengembalikan kehormatan bagi mereka yang bekerja jujur.
Daerah yang baru akan menginjak 22 tahun ini, mungkin belum sepenuhnya sempurna, tapi setidaknya kini ia baru mulai bernafas lebih segar, berkat satu sapu kecil yang digerakkan dengan niat besar.***


Discussion about this post