Dharmasraya – Masyarakat Jorong Durian Simpai dan Koto Baru ,Nagari IV Koto Dibauah, Kecamatan IX Koto, Kabupaten Dharmasraya, Provinsi Sumbar meminta PT. BRM koperatif untuk menyerahkan sisa lahan 550 hektare tersebut.
“Kesepakatan yang telah dibuat antara pihak perusahaan dan pemangku ulayat kerap kali terbaikan secara sepihak tanpa dasar atau alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.”
Pernyataan itu disampaikan pemangku tanah ulayat Syahlil, Dt Gindo Rajo Lelo mewakili masyarakat. Ia meminta perusahaan bukit raya mudisa (PT.BRM) tak perlu berdalih dan membaca ini dan itu yang tak ada habisnya. Yang penting serahkan sisa lahan 550 hektare itu kepada masyarakat.
Dengan kondisi ini, kami sebagai pemangku tanah ulayat bersama dengan ninik mamak dan tokoh masyarakat berupaya mendatangi pihak PT. BRM. Saat itu, yang Ia temui salah seorang oknum menejer perusahaan bernama Viktor.
“Pak Viktor, kami mohon ditunda penamanya menjelang ada penyelesaian dan tolong di jelaskan dulu mana sisa lahan masyarakat 550 hektare yang ada dalam Mou. Karna masyarakat terlalu lama menunggu,” timpalnya.
Namun niat baik untuk mencari solusinya, malah dibalas oknum menejer baru itu seolah menantang. “Apapun itu tetap kita tanam, kalau mau lapor ke pemda, mau ke hukum silahkan ini tetap dikerjakan sesuai arahan pimpinan,” ujarnya sembari menirukan ucapan menejer baru tersebut.
“Jawaban yang diberikan oknum menejer perusahaan itu, terkesan melecehkan kami sebagai ninik mamak dan tidak seperti menejer sebelumnya lebih sopan,” sesalnya.
” Jika sudah begini, kita harus kembali pada kesepakatan awal yang merupakan tanggung jawab perusahaan kepada masyarakat, kapan perlu kita duduk satu meja untuk menyelesaikan permasalahan ini, agar lebih terang benderang.
Senada dengan itu Aidil Fitri Dt. Penghulu Bosou menjelaskan awalnya lahan yang 1000 hektare yang diperuntukan untuk masyarakat membuat kebun kelapa sawit sebagai bentuk kompensasi final dari pihak perusahaan.
Karena terjadi penundaan oleh pihak perusahaan sejak 2021 sampai 2006. Maka disinilah awal muncul permasalahan. Sehingga menimbulkan berbagai macam pertanyaan. Intinya mengapa kebun sawit yang dijanjikan perusahaan sebagai kompensasi tak kunjung juga terwujud.
Karana belum ada juga realisasinya dari kebun sawit itu ,maka pihak perusahaan diwaktu itu membuat perjanjian dan menyerahkan uang untuk biaya modal membuat kebun sawit.
Awalnya lahan yang 1000 hektare itu, perusahaanlah yang bertanggung sampai penanaman, tapi tahun 2006 terjadi di addendum tanpa merobah isi kesepakatan sebelumnya pada akhirnya masyarakat juga yang menanam.
Walaupun ada uang kompensasi yang diberikan tidak sebanding dengan benerapa lama masyarakat menunggu. Ini bukan berarti kami dari pemangku adat dan ninik mamak memperjual belikan tanah ulayat, melainkan uang kompensasi dari pihak perusahaan sesuai dengan kesepakatan bersama.
Abdul Hadi menager viar perusahaan PT. BRM saat dihubungi melalui telepon genggamnya menjawab. Kantanya, persoalan lahan yang 1000 hektare tersebut sudah diberikan 450 hektare sebagai penganti kompensasi dari perusahaan dan itu sudah clear,” akunya.
Mungkin mencuapnya persoalan ini, karena ada salah seorang dari ninik mamak (pemangku adat) yang meninggal dan digantikan oleh yang baru. Sementara yang lama mungkin tidak menjelaskan kepada pengantinya, sehingga terjadi miss komunikasi antara pihak perisahaan dengan pemangku tanah ulayat,” ungkapnya. (SP)
Discussion about this post