Oleh : Syafri Piliang (Wartawan Muda)
Dharmasraya – Udara pagi itu masih terlihat dingin, sedingin hati dua Srikandi, ketika satu per satu dari barisan itu mulai mengisi halaman kantor bupati. Dari kejauhan, kibaran merah putih tampak kontras di langit yang berwarna perak pucat, seperti tak ada tanda – tanda hujan akan turun, Selasa 28 Oktober 2025.
Anak-anak sekolah berdiri tegak dengan wajah yang setengah serius, setengah canggung. Para ASN berbaris rapi memgenakan baju ala kopri sambil menatap ke depan dengan mata yang menyimpan hormat.
Di tengah halaman tampak Bupati Annisa Suci Ramadhani melangkah pelan menuju podium. Langkahnya mantap, tapi tenang. Di hadapan ratusan peserta upacara, ia menjadi satu di antara mereka yang hendak mengenang janji lama, janji para pemuda tahun 1928 yang mengikat bangsa ini dengan satu kata yakni persatuan.
Upacara Sumpah Pemuda ke-97 itu tidak mewah, tidak pula meriah. Tapi justru di kesederhanaannya, upacara itu terasa penuh makna. Di bawah komando Tigor Batubara, suasana berlangsung khidmat. Deretan tamu kehormatan, Wakil Bupati Leli Arni, Anggota DPRD Pasdisata Dt. Kabilangan, serta semua unsur Forkopimda yang berdiri sejajar di bawah rerik sang surya yang mulai hangat.
Bupati Annisa membacakan sambutan Menteri Pemuda dan Olahraga Erick Thohir. Suaranya jernih, memantul lembut di antara pepohonan halaman kantor bupati yang berdaun rindang.
“Kita hidup di zaman yang berat, dunia bergerak cepat. Namun kita tidak boleh takut, karena di setiap kampung dan kota masih ada anak muda Indonesia yang jujur, tangguh, dan berani. Itulah kekuatan bangsa kita,” begitu sebagian kalimat yang dibacakan oleh bupati perempuan pertama di Provinsi Sumbar itu.
Sejenak, suasana sontak hening seketika. Yang terdengar hanyalah desir angin dan gesekan bendera di tiang bendera yang terbuat dari semen. Beberapa pelajar tampak menunduk, mungkin membayangkan betapa sulitnya dulu para pemuda merumuskan janji di bawah penjajahan, tanpa media sosial dan sorotan kamera, hanya berbekal idealisme dan cinta tanah air.
“Pemuda Dharmasraya harus menjadi bagian dari kekuatan bangsa, menjaga persatuan, dan fokus pada hal-hal yang esensial. Jadilah generasi yang membawa terang, bukan yang memperkeruh keadaan,” pesannya lembut penuh makna.
Ketika lagu Bangun Pemudi Pemuda dikumandangkan, beberapa orang di barisan belakang ikut bernyanyi pelan. Suaranya tidak seragam, tapi penuh rasa. Ada kebanggaan kecil yang lahir dari kesadaran bahwa sumpah itu belum mati dan hanya berganti wajah.
Di akhir upacara, matahari sudah meninggi. Bayangan tiang bendera jatuh panjang ke tanah, seolah mengingatkan bahwa waktu terus bergerak. Namun di hati banyak orang yang hadir pagi itu, ada sesuatu yang tetap: bara semangat yang diwariskan hampir seabad lalu.
Bupati Annisa menatap bendera yang perlahan diturunkan. Senyum tipis terbit di wajahnya. Barangkali dalam diam ia sedang berdoa agar di tanah Dharmasraya ini, semangat Sumpah Pemuda tak pernah padam, hanya terus menyala dalam bentuk yang baru.
Usai upacara, Bupati Annisa berbicara lirih kepada wartawan lokal. Tak banyak kalimat yang keluar, tapi nadanya dalam.
“Refleksi dari Sumpah Pemuda itu sederhana tapi mendalam , persatuan. Dengan persatuan, pembangunan akan berjalan.
Tapi ada satu hal, jika kita mudah diadu domba dan sibuk oleh isu-isu yang tidak substansial, maka energi bangsa ini akan terpecah belah ,” ucap Annisa dengan nada agak sedikit tegas sembari menatap ke arah pelajar yang sedang melipat bendera sang saka merah putih dengan penuh hati-hati.***
Discussion about this post