Oleh : Ikhlas Darma Murya, S.Kom
Kejadian luar biasa hari ini Jumat (11/5), baru saja awak alami. Sebagai warga negara yang baik dan taat hukum, awak selalu mengedepankan sikap kooperatif. Memenuhi undangan penyidik Polresta Pariaman guna kepentingan permintaan keterangan.
Awak dilaporkan oleh seorang oknum yang mana ia merasa namanya telah awak cemarkan dan/atau awak hinakan.
Dugaan “Penghinaan Melalui Medsos Facebook”, demikian petikan surat yang tertulis dalam perihal undangan permintaan keterangan yang ditujukan penyidik kepolisian pada awak.
Dugaan itu dituangkan pada LP bernomor sekian sekian sekian yang pengaduannya dibuat tertanggal 3 April 2018.
Jujur awak sedih menyikapi hal ini. Sedih dengan ulah si oknum yang awak indikasikan sengaja menyerang awak dan mencoba menjatuhkan awak. “Mencari kaki tinggal awak” kata orang Piaman, tanpa awak tahu apa penyebabnya.
Satu sisi, kali wajar yang psikolog pernah bilang ke awak, dangkal serta ceteknya pola pikir seseorang biasanya mempengaruhi mental dan psikis orang itu sendiri!
Akan tetapi. Lain halnya penilaian rekan-rekan awak yang notabene adalah pemerhati kebijakan hukum. Sebab, menurut pandangan ilmiah mereka, awak diduga telah mencemarkan nama cemar dan/atau menghinakan nama hina seseorang. Hehehe…
Kikira begini kronologinya:
Siang itu Selasa, persis tanggal 3 April 2018. Usai awak memberikan keterangan lanjutan ke penyidik Panwaslu Kota Pariaman, atas pengaduan dugaan netralitas ASN yang beberapa hari sebelumnya telah awak laporkan ke Panwaslu Kota Pariaman.
Harus awak akui. Barangkali karena keisengan awak yang entah kenapa tangan awak gatal. Gatal kepengen menulis sensasi di beranda media sosial Facebook punya awak.
Pikir dan pikir. Dengan sekejap imajinasi awak langsung melintaskan sesuatu. ‘Nakal’ memang karya awak itu.
Tapi… Ya sudahlah!
Dari pada awak manyun sendirian, di sebidang kursi di teras depan kantor Panwaslu Kota Pariaman, ngapain awak menghitung kendaraan yang lalu lalang di labuh depan gerbang? Gumam awak berujar dalam hati.
Maka keputusan menulis karya dagel itupun awak akomodir menghilangkan rasa jenuh. Tips awak ketika mengisi kekosongan hari. Sembari menunggu kawan yang kala itu gilirannya memberikan keterangan ke penyidik Panwaslu dalam kapasitas sebagai saksi.
Biar lebih menarik dan membahana. Harap awak agar tulisan ini viral dibaca public relationship on Facebook. Awak coba menulis seutas karya fiksi sedikit ‘nakal’ dengan empat paragaraf singkat. Tak lebih!
Tulisan (dagelan) fiksi tentang kisah seekor asu (baca: anjing). Kepunyaan seorang yang awak beri nama Ardi Chaniago terbersit begitu saja tanpa sugesti.
Judulnya : “Alkisah Petualangan (A)su Ardi Chaniago Sang Oportunis”, dengan tulisan menggunakan huruf capital seutuhnya.
Jemari awak seketika menari menguntai kata demi kata hingga menghasilkan sebuah prolog di sepenggal cerita. Mengalir tanpa terasa membentuk satu narasi.
Namun… Alamak! Betapa terkejutnya awak setelahnya. Ternyata, di sanalah kekonyolan mulai terjadi. Tak dikira lacur kesudahannya alkisah fiksi dengan objek narasi seekor asu (baca: anjing) yang awak buat itu.
Apa pasal? Seorang oknum yang entah apa sebabnya mencoba melaporkan awak dengan objek tulisan ini ke Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) Polresta Pariaman.
Awak ketahui itu saat pagi keesokan harinya, ramai warga sekampung melapor ke awak dengan rasa khawatirnya, ada yang menelpon, adapula yang menemui awak langsung. Dia bilang, “Kamu dilaporkan orang ke polisi, kabarnya gara-gara postingan kamu di Facebook kemaren,” kata mereka senada ke awak.
Terus terang awak hanya menjawab seadanya saja. “Ah.. Masak?” gumam awak. “Iya serius. Kita dapat kabar A1 dari ‘dalam’,” cetus mereka lagi.
Untuk menghapus rasa khawatir orang-orang kampung pada awak. Awak pun berujar. “Biarlah.. Dia kan orang, toh? Bukan asu? Jadi dia punya hak atas penegakkan hukum sebagai warga negara, layaknya awak,” tanggap awak santai.
Sungguh awak tak mengira sebelumnya. Dampak dari cerita fiksi yang awak rilis di beranda Facebook awak, berujung polisi. Benar-benar kejadian konyol. Celaka duabelas rupanya awak.
Konon kabar yang awak terima Rabu pagi (4/4), seorang oknum (pelapor) diduga tak senang membaca karya awak tadi. Ia menduga namanya awak dihinakan di karya itu. Ia tersinggung dengan kata-kata “asu” di tulisan itu.
Pertanyaan muncul. Kenapa awak tulis “asu” (memakai langgam Jawa)? Karena pemakaian bahasa langgam Jawa tersebut tak banyak orang Pariaman yang tahu.
Sebaliknya jika awak tulis arti “asu” itu adalah “anjing”, terlalu kasar bunyinya dalam konteks awak yang berdomisili di ranah Bundo Kanduang, apalagi Pariaman. Terlebih awak ini hidup berjibaku di lingkungan sastra (penulis/jurnalis). Jelas sangat tidak etis!
Oleh : Ikhlas Darma Murya, S.Kom
(Pimpinan Redaksi Media Siber Reportase Investigasi)
Discussion about this post