Dharmasraya – Ranah minang kembali berduka di akhir Oktober 2025, suasana udara Koto Padang terasa lembab. Di sebuah ruang perawatan rumah sakit kecil di sana, seorang lelaki tua terbaring tenang. Ia bukan pejabat, bukan pula pesohor layar kaca. Tapi bagi banyak perantau Minang, nama itu bergaung akrab dari radio-radio lama dan kaset pita yang kini mulai menguning. Agus Taher, pencipta lagu Kasiak Tujuah, Muaro telah berpulang.
Kabar kepergiannya pada Selasa, 28 Oktober 2025, menyebar cepat di Dharmasraya dan sekitarnya. Di media sosial, musisi dan penggemar musik Minang menulis ucapan duka, menyertakan potongan lirik lagu ciptaannya yang paling masyhur. “Kasiak tujuah, indak ka hilang dek paneh, indak lapuak dek hujan…” Begitu penggalan yang kerap dikutip, seolah menjadi epitaf bagi perjalanan panjang seorang seniman sunyi.
Bagi generasi yang tumbuh bersama kaset-kaset Zalamon, Kasiak Tujuah bukan sekadar lagu. Ia adalah perasaan — tentang rindu, kehilangan, dan cinta yang tak pernah selesai. Zalamon, dengan suaranya yang serak dan dalam, mempopulerkan lagu itu hingga ke pelosok Sumatera Barat dan tanah rantau. Kini, dua nama itu Zalamon dan Agus Taher telah sama-sama berpulang, menyisakan gema yang lirih di antara kenangan.
Uda Agus itu orangnya tenang, jarang bicara.Tapi kalau sudah pegang gitar, ia seperti berubah,” tutur Dahrul, seorang teman semasa mudanya di Muaro. “Dia sering duduk di tepi batang sungai, memetik nada sambil menulis di buku kecilnya.”
Agus Taher lahir di Ulak Karang, Kecamatan Padang Utara. Sejak muda, ia akrab dengan rabab, saluang, dan dendang-dendang klasik yang menjadi napas kehidupan masyarakat Minang. Ia bukan lulusan sekolah musik. Tapi pendengarannya tajam, dan kepekaan estetikanya lahir dari kehidupan sehari-hari. Dari desir angin di sawah hingga ke langkah perantau yang pulang setahun sekali, dari kesunyian kampung yang tinggalkan.
Lagu Kasiak Tujuah muaro konon ditulisnya di akhir dekade 1980-an. Ceritanya sederhana yakni tentang kasih yang tak sampai, tapi tetap disimpan dengan tulus.“Waktu itu banyak orang Muaro yang merantau, dan lagu itu seperti jadi surat terbuka bagi mereka,” kata Dahrul.Tak butuh waktu lama, lagu itu sampai ke telinga Zalmon penyanyi yang kemudian menjadikannya salah satu repertoar wajib di setiap panggung.
Popularitas lagu itu tak lantas mengubah hidup Agus Taher. Ia tetap tinggal di rumah kayu sederhana di tepi jalan Muaro, menulis lagu untuk penyanyi lokal, dan sesekali tampil di acara nagari. “Dia tidak pernah mengejar uang dari lagu,” ujar keponakannya, Rahmad. “Katanya, cukup kalau orang masih mau mendengarkan.”
Kini, di rumah itu, suasana duka terasa pekat. Sebuah gitar tua bersandar di dinding. Di meja, tumpukan buku catatan berisi potongan lirik dan notasi yang belum sempat diselesaikan. “Katanya, mau bikin lagu baru untuk penyanyi muda Muaro,” kata Rahmad pelan.
Beliau dimakamkan sore harinya di tanah kelahirannya. Ratusan warga datang silih berganti mengantar, beberapa meneteskan air mata saat lagu Kasiak Tujuah diputar pelan dari pengeras suara. Di antara yang hadir, beberapa seniman lokal berjanji akan terus membawakan lagu – lagunya agar tak lenyap ditelan waktu.
Kepergian Agus Taher menandai berakhirnya satu bab penting dalam musik Minang klasik. Tapi seperti lirik ciptaannya yang abadi, warisannya tidak hilang, tapi hanya berpindah tempat, dari suara ke ingatan, dari panggung ke hati pendengarnya.
Dan mungkin, di suatu senja di Muaro, ketika angin berembus lembut dari Batang Hari, gema itu masih bisa terdengar samar, nada-nada dari seorang lelaki yang menulis dengan perasaan dan berpulang dengan tenang.
Ucapan duka mengalir deras sejak pagi itu. Darirumah – rumah seniman di Dharmasraya hingga grup-grup musik di Nagari Muaro, kabar duka itu bergema, Agus Taher, pencipta lagu legendaris Kasiak Tujuah, telah berpulang. Ia menghembuskan napas terakhir pada Selasa, 28 Oktober 2025, di salah satu rumah sakit di Koto Padang. Kabar itu cepat menyebar, menyisakan sunyi di hati para pelaku seni Minangkabau.
Selamat jalan, Uda Agus Taher. Karyamu tetap hidup di setiap panggung dan pesta rakyat,” tulis Erwin Chan di laman media sosialnya.Nada serupa juga datang dari Buyung Aceh, Zulfahmi, Dt Lenggang, Reva, Syafri Piliang, Danil, dan puluhan pemilik orgen tunggal artis di Dharmasraya yang merasa kehilangan.“ Beliau bukan hanya sosok pencipta lagu, tapi guru yang tulus untuk membagi ilmu.
Bagi banyak orang, nama Agus Taher tak hanya sekadar tercatat di deretan pencipta lagu daerah. Ia adalah bagian dari denyut kehidupan musik Minang, seorang seniman yang menulis lirik dengan hati dan merangkai melodi dari keseharian orang kampung.***



Discussion about this post