Satu dasa warsa, masa yang cukup lama untuk sebuah proses. Selama periode sepuluh tahun bisa merubah banyak kondisi yang terjadi.
Begitu pun yang terjadi pada Pesta Budaya Seni Pameran Dagang dan Industri (Pedati) di Kota Bukittinggi, rentang waktu selama itu, telah merubah kondisi dan situasi.
Satu diantaranya adalah, para pemrakarsa yang semula berjumlah sembilan orang, kini yang tinggal hanya berjumlah tiga orang saja lagi.
Maka patutlah diberi apresiasi bila Pemko Bukittinggi mampu kembali “mambangkik batang tarandam” kegiatan Pedati yang nyaris hilang sirna begitu saja.
Sebelum melaporkan aktivitas dan dinamikanya, tidak ada salahnya dicoba kembali untuk mengulik bagaimana perjalanan Pedati sejak proses awalnya sampai kemudian terhenti sepuluh tahun lalu.
Dari tiga orang pemrakarsa yang kini masih hidup, yakni Adeks Rosyyie Mukri, Rismaidi dan Chon Piliang, diperoleh penjelasan bahwa setidaknya selama 11 kali pelaksanaan Pedati lalu, bisa dibagi pada dua fase.
Fase pertama, menurut Adeks berlangsung pada tiga kali kegiatan Pedati yang dilaksanakan secara mandiri. Di mana saat itu, panitia penyelenggara, walaupun diantaranya juga terdapat pada pejabat, tapi tidak menggunakan anggaran (APBD) Kota Bukittinggi.
Cara panitia bisa mendapatkan biaya penyelenggaraan selain dari sumbangan donatur, tambah mantan ASN di Pemko Bukittinggi ini, juga menyewakan tenda-tenda yang dipasang untuk pameran dengan lokasi juga di lapangan Kantin.
Meski tentu saja cukup berat, namun ketiga pemrakarsa itu menyebutkan, Pedati bisa berlangsung dengan semangat kebersamaan dan pengabdian para panitia. Dengan dasar itulah “roda” Pedati bisa tetap berjalan sampai tiga kali penyelenggaraan.
Dan sesuai dengan penetapan momentum penyelenggaraan Pedati dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda, semangat itulah yang melandasi serta sebagai energi bagi panitia bisa melaksanakan kegiatan sampai tiga kali secara mandiri.
Sedangkan fase kedua adalah dengan subsidi dari Pemko Bukittinggi. Subsidi (bantuan) dari APBD dimulai pada kegiatan Pedati ke-4 sebesar Rp.7,5 juta. Pada Pedati ke 5 berikutnya langsung berlipat menjadi Rp.225 juta, selanjutnya Pedati ke 7 dan 8 sebesar Rp.275 juta dan Pedati ke-10 menjadi Rp.325 juta.
Pada fase subsidi ini bahkan bisa diciptakan koordinasi dengan pemerintah provinsi serta kota dan kabupaten se-Sumbar untuk berpartisipasi mendukung Pedati di Bukittinggi dengan mengalokasikan anggaran dari APBD masing-masing mengikuti kegiatan ini.
Fase ketiga yang kini sudah dimulai kembali, bisa disebutkan pasca Covid 19. Momen pemerintah tengah melakukan “recovery” terhadap ekonomi dan kesehatan.
Dengan memulai kembali langkah yang telah dilakukan sebelumnya, dampak Pedati ke-12 mulai kelihatan setidaknya dapat menstimulasi fundamen kehidupan baru pasca Covid 19 dengan motto “Sembuh Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat Menuju Bukittinggi Kuat” tidak hanya bagi Bukittinggi, tapi juga bagi Sumatera Barat dan Indonesia.
Discussion about this post