Perjalanan wartawan bersama Dinas Komunikasi Informasi dan Komunikasi (Kominfo), berlangsung mulai 15 sampai 17 Desember, menuju daerah tujuan di provinsi Riau, yaitu kabupaten Siak dan kota Pekanbaru.
Kegiatan yang sebelumnya bernama Studi Komparatif kini bernama Studi Best Practice, diikuti oleh 42 orang wartawan dan 10 orang dari Diskominfo terasa lebih “heboh” dibandingkan dengan sebelumnya, terutama karena pesertanya yang cukup banyak.
Mulai dari nama wartawan dan media, yang sebenarnya telah dibuat kriteria atau kategori oleh “owner” anggaran Dinas Kominfo sebelumnya,namun dalam prosesnya banyak memunculkan dinamika.
Bukan wartawan namanya, kalau tidak kritis dan “gigiah” dalam mendapatkan apa yang diinginkan. Soal kriteri atau “hak dan kewajiban”, yang kadang bisa lebih menonjol.
Kemudian, tidak hanya bagi Kominfo kegiatan ini baru untuk pertama kali dilakukan, tentu saja perlu adaptasi serta orientasi,tidak hanya soal administrasi, yang tidak penting bagaimana me-menej perilaku puluhan wartawan dengan karakter berbeda.
Kehebohan juga terasa lain juga dirasakan di kalangan wartawan itu sendiri. Beragam suasana, temasuk setelah tahu bahwa dirinya ikut dalam rombongan.
Ada yang tersiar kabar, akan membawa anak dalam perjalanan, yang kemudian mendapat reaksi berbeda, plus-minus tentunya.
Suasana itu terasa seperti seseorang yang akan melakukan perjalanan jauh, bahkan hampir mirip ketika hendak menunaikan ibadah haji. “Maklum, sebagian kawan harus meninggalkan keluarga,atau pertama ikut kegiatan seperti ini,” ciloteh sejumlah wartawan saat berkumpul di PWI Bukittinggi.
Lepas dari kehiruk-pikukan yang ini juga menjadi bagian dinamika kehidupan wartawan, keberangkatan menuju Siak dan Pekanbaru itu, awalnya diberi pesan oleh Sekdako Drs. Martias Wanto, MM, di lobi ruang masuk kantor Balaikota, Selasa (14/12) pagi.
Sekda yang dikenal dekat dan tahun sekali kiat menghadapi tingkah-polah wartawan berpesan untuk mengingat tiga hal (ATM) dalam Studi Best Practice tersebut.
Pertama, Martias berpesan untuk Amati apa yang dilihat dan didapat. Kalau ketemu yang baik,maka seyogyanya Tiru. Tapi ditiru seperti apa adanya belum tentu juga akan cocok diterapkan di Bukittinggi.
Karena itu Martias menyebut hal ketiga,yaitu memoifikasi apa yang baik itu agar sesuai dengan karakter serta kondisi kota Bukittinggi.
Perjalanan itu akhirnya terasa mengandung makna yang cukup berarti karena langsung dilepas oleh Walikota H. Erman Safar, dan tentu saja juga dibarengi dengan foto bersama di lobi ruang masuk kantor Balaikota.
Walikota lebih menitik beratkan studi Best Practice ini sebagai momen bagi wartawan untuk memperkaya khasanah wawasan dan pengalaman dari objek kunjungan di Riau Post dan Riau TV, jaringan media di bawah JPNN itu.
(bersambung)
Discussion about this post