BUKITTINGGI, REPINVESCOM
Sebuah bangunan yang tengah berjalan pembangunannya di Jalan Yos Sudarso, Kelurahan Benteng, Kecamatan Guguak Panjang, Kota Bukittinggi menjadi sorotan tersendiri bagi masyarakat di kota berhawa sejuk tersebut.
Pasalnya, diduga bangunan tersebut belum mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB), namun pembangunannya tetap berjalan seolah tidak ada yang memperdulikan.
Bagaikan sebuah Negeri tak bertuan, pelaksanaan pembangunan yang disinyalir dilakukan oleh seorang tokoh berpengaruh di kota Jam Gadang tersebut, tetap berjalan tanpa ada upaya pencegahan yang berarti dari pihak-pihak terkait.
Hal ini dikatakan oleh Ketua Umum LSM Amanah kota Bukittinggi Idris Sanur, bahwa dirinya menduga banyak aturan perundang-undangan yang dilabrak dalam proses pelaksanaan Pembangunan itu.
“Kami dari LSM menduga, ada semacam permainan yang terjadi pada pembangunan ini karena mengingat yang melaksanakan pembangunan tersebut merupakan tokoh yang sangat berpengaruh di Bukittinggi” katanya pada Wartawan.
Permainan yang dimaksud oleh Idris menurutnya terjadi dari mulai penyerahan lahan hingga proses pengajuan IMB.
“Lahan itu dulunya dibawah pengawasan Kodim 0304 Agam, namun terakhir diketahui dibangun oleh Zulkirwan Rifai atau yang lebih dikenal H Buyuang, sementara yang memiliki hak sebenarnya terhadap tanah itu adalah Kaum Datuak Nagari Labiah, selaku kepala kaum suku Jambak Guguak Panjang,” jelasnya.
Menurutnya, kejanggalan itu terjadi berdasarkan Dokumen yang diketahuinya atas Surat Wasiat tahun 1937, bahwa terjadinya penyerahan dari Datuak Maleko kepala suku Jambak Guguak Panjang kepada orang Koto Gadang, yang saat ini Datuak Maleko yang dimaksud telah berganti gelar Sako sebagai Datuak Nagari Labiah. “Dokumen itu saya dapatkan dari pihak Peminjam Tanah dimaksud, yang mana saat ini mereka telah berada di Singapura,” katanya.
Menurut Idris, cikal bakal terjadi Pengawasan tanah yang berada dibawah pengawasan Kodim 0304 Agam, berawal dari ditinggalkannya lokasi tersebut oleh si Peminjam, akibat ketakutan pasca terjadinya peristiwa pemberontakan PRRI.
“Pada waktu itu, tanah-tanah strategis dikuasai oleh TKR, sehingga lahan tersebut juga termasuk yang diinginkan oleh TKR. Nah…, setelah peristiwa Pemberontakan terjadi, walau sempat ditempati oleh Organisasi Persatuan Wanita Republik Indonesia (PERWARI), namun tahun 1965 kembali diambil alih oleh TKR yang terakhir berganti nama menjadi TNI guna dijadikan asrama” paparnya. Hal ini ia katakan, bahwa dikarenakan dirinya pernah mengontrak lahan tersebut lebih dari 20 tahun.”
Saya sendiri, timpalnya lagi, pernah menempati lahan tersebut sejak tahun 1997 hingga diambil alih oleh pihak Kodim 0304. “Namun, selama saya menempati lahan itu, saya tetap membayar uang sewa lahan setiap tahunnya kepada pihak Kodim 0304 Agam,” katanya.
Tapi, yang menjadi substansi dalam persoalan ini, bagi pria yang juga sebagai ketua LMRI DPD Bukittinggi, dan Dewan Pimpinan Wilayah Laskar Merah Putih Sumatera Barat adalah, terjadinya pembangunan yang dilakukan oleh H Buyuang itu tidak lah lazim, sebab yang bersangkutan bukanlah pemilik lahan.
“Memang ada terjadi penyerahan lahan dalam pengawasan yang dilakukan oleh Kodim 0304 Agam sekitar tahun 2016 silam, namun yang menerima penyerahan tersebut adalah Syaiful Datuak Maleko. Namun, dia bukanlah kepala suku Jambak Guguak Panjang, namun Kepala suku Jambak Mandiangin Koto Selayan, nah inikan sudah lain persoalannya,” jelasnya pada Wartawan, sembari dia mengatakan bahwa kuat dugaan lahan yang dimaksud tidak dapat disertifikatkan karena pihak yang menerima penyerahan tersebut tidak dapat membuktikan kepemilikan secara data otentik.
“Jelas saja mereka tidak dapat membuktikan, sebab data yang dijadikan sebagai alas hak guna permohonan Yuridis Pembukuan Tanah tidak mereka miliki. Dan, berkemungkinan inilah yang membuat lahan tersebut tidak bisa dikeluarkan IMB nya. Nah, jika memang itu terjadi tentu yang menjadi kecurigaan bagi kita adalah, kok bisa Kodim 0304 menyerahkan tanah tersebut kepada pihak yang salah. Sementara logikanya tanah tersebut berada di kecamatan Guguak Panjang, namun diserahkan kepada orang Mandiangin Koto Selayan, inikan konyol namanya,” keluhnya.
Idris juga menambahkan bahwa pihak yang memiliki hak saat ini tengah berupaya untuk melakukan tuntutan, namun takut dikarenakan adanya tekanan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
“Sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat, disini saya hanya meminta kepada Instansi terkait segera melakukan penghentian terhadap pembangunan tersebut. Janganlah pemerintah Bukittinggi hanya menegakkan aturan itu kepada masyarakat kecil-kecil saja, namun kepada orang berpengaruh justru hukum itu tumpul,” ungkapnya mengakhiri. (Tim)
Discussion about this post