PAINAN – Menilik kasus hukum yang dialami Bupati Pesisir Selatan Rusma Yul Anwar, pakar hukum Universitas Eka Sakti Dr. Otong Rosadi, S.H., M.Hum., mengatakan terdapat celah/kekosongan hukum pada UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Saya mulai dengan ketentuan Pasal 83 ayat (1) dan ayat (4) terdapat celah kekosongan hukum, jika lihat putusan pengadilan pada bapak Rusma Yul Anwar, ia terbukti bersalah telah mempunyai kekuatan hukum dengan pidana 1 tahun denda 3 bulan subsider 3 bulan. Jika tak keliru dulu ancaman pidananya kurang dari lima tahun?, “katanya saat ditemui wartawan di Painan, Selasa (13/07)
“Ketika di pasal itu ditemukan kekosongan/celah. Maka kekurangan itu, memerlukan penafsiran, maka UU harus dibaca dengan tafsir yang otentik/resmi sesuai gramatikal, saya melihat pada kasus Pak Yul ini tidak terpenuhi tafsiran kata demi katanya (gramatikal),” Jika begitu maka diperlukan tafsir lain, Penafsiran sistematis misalnya dengan menghubungkan ayat (1) dan (4). Juga dengan pasal-pasal lainnya. Juga tidak memadai. Dan metode tafsir lainnya.
Otong mengatakan perlu dibuat tafsiran lain, karena normanya ada tapi tidak jelas Namun jika tidak memiliki itu normanya sama sekali, maka itu bisa digunakan konstruksi hukum. Analogi misalnya, adalah kasus yang serupa dengan Bupati Pesisir Selatan ini ditempatkan lain. Ini bisa digunakan rujukan.
“Kita boleh menempatkannya sebagai kekurangan atau karena tidak ada hukumnya. Siapa yang berhak membuatkan tafsiran atau kontruksi hukum ini? Dalam hal ini tentu saja Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) yang berhak membuat tafsiran ini,” tambahnya lagi.
Rektor Universitas Eka Sakti Padang ini juga mengatakan bahwa celah kekosongan hukum ini akan lebih baik lagi dibuat melalui Peraturan Pemerintah, akan tetapi bisa memerlukan waktu yang lama. Untuk kasus yang terjadi di Pesisir Selatan, Mendagri bisa menegaskan aturan tersebut melalui Surat Edaran. Walaupun nantinya akan ada kritikan terkait jenis ‘Surat Edaran’ itu.
“DPRD sekalipun dapat memainkan perannya melalui hak angket untuk menyoal kasus Bupati ini, namun ada prasyarat ‘ketidakpercayaan publik yang meluas’. Persoalannya, syarat ini tidak terpenuhi, fakta di lapangan kita temukan justru masyarakat Pesisir Selatan tetap menginginkan beliau menjabat sebagai Bupati Pesisir Selatan. Bahasa politisnya bekerja saja belum bagaimana bisa tidak terbentuk ketidakpercayaan publik? Makanya tidak terpenuhi,” menurut pandangan hukum Rektor ini.
Kemendagri harus melihat respon masyarakat, demikian pula akademisi harus bersuara untuk mengisi celah kekosongan ini. Dimana peran akademisi? Bisa membuat ‘majelis eksaminasi atas putusan’.
“Menurutnya, kementrian dalam hal Biro Hukum, juga membuat telaah yang komprehensif, supaya Kemendagri tidak salah mengeluarkan putusan karena, ‘masalah kekosongan hukum’ ada unsur yang tidak terpenuhi di Pasal 83 UU Nomor 23 Tahun 2014 itu.
Pemerintah Daerah (Kabupaten) juga harus membuat telaah kepada Kemendagri sambil tetap terus menjalin komunikasi dengan Pemerintah Provinsi sebagai wakil Pemerintah Pusat. Dalam hal ini Bagian Hukum dan Sekretaris Daerah (Sekda)sebagai top management di pemerintahan daerah.
“Karena Bupati ini sebagai ‘pihak’ dalam ‘masalah’ yang harus ditelaah ini, maka lebih tepatnya Setda yang menyusun dan Sekda yang menandatangani hasil telaah yang diharap mampu memberikan gambaran versi Pemda,” tutupnya. (Robi)
Discussion about this post