Seringkali kita bertanya-tanya sudah tepatkah gaya hidup kita sehari-hari? karena tidak jarang meski kita merasa tidak boros, namun mengapa pengeluaran rumah tangga sangat besar.
Perlu diingat, boros atau tidaknya sebuah rumah tangga tidak hanya dilihat dari kuantitas dan kualitas pembelian atau pembelanjaan.
Misalnya ada seseorang yang bisa membelanjakan uang seratus ribu dengan mendapat barang yang lebih banyak dari orang lain, padahal barang yang dibeli hampir sama. Ternyata ibu yang satu pentingkan kualitas barang, hingga berakibat harganya menjadi mahal, sedang satunya lebih memilih kualitas rata-rata, asal bisa membeli jumlah yang lebih banyak, karena menurutnya itu adalah langkah penghematan.
Jika kita tidak bijak menyikapi hal ini, maka yang akan terjadi: membuat pribadi yang kikir atau pelit karena terlalu ketat mengatur keuangan dan khawatir jatuh miskin; bersifat monopoli atau menganggurkan harta hingga hal-hal yang menjadi pokok pembelanjaannya menjadi terabaikan apalagi untuk sedekah dan berzakat. Di samping itu gaya hidup yang bermewah-mewahan juga adalah hal yang dilarang.
Kedua pola hidup yang dianggap ekstrim ini dalam Islam dianggap sikap yang mendekati mubadzir, ini terlihat jelas dalam firman Allah: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqon: 67)
Lalu sikap hidup seperti apa yang diperbolehkan dalam Islam? Tentu yang bersikap pertengahan, yakni tak terlalu mengulurkannya yang berarti boros, namun juga tidak membelenggunya berarti itu kikir. Allah sendiri sudah memberikan arahan-Nya: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Isra:29)
Dan satu lagi ayat yang mengidentikkan jika pemboros itu bak saudaranya syaitan! Dan ayat itu adalah: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.” (QS. Al-Isra’: 26-27)
Sikap pertengahan sangat disukai dalam Islam terlihat Nabi Muhammad SAW memberikan arahan dalam sabdanya yang mengatakan “Allah akan memberikan rahmat kepada seseorang yang berusaha dari yang baik, membelanjakan dengan pertengahan dan dapat menyisihkan kelebihan untuk menjaga pada hari ia miskin dan membutuhkannya.” (HR. Ahmad)
Sikap pertengahan ini adalah sikap terbaik untuk kaum muslimin dalam pengelolaan keuangannya karena berada pada sikap yang tepat, bahkan Rasulullah memberikan jaminan tidak akan menjadi miskin orang yang mempunyai sikap pertengahan ini, hal ini tertuang dalam Hadis Riwayat Ahmad: “Tidak akan miskin orang yang bersikap pertengahan dalam pengeluaran.” (HR. Ahmad)
Setelah kita berupaya semaksimal mungkin untuk mengatur pembelanjaan sesuai dengan aturan-aturan Islam, maka yakinlah Allah akan memberikan lipat ganda pahala dan keberkahan-Nya akan tercurah, dan usaha kita diharapkan akan maju, dan ada sisa hasil usaha yang digunakan untuk menabung, menjaga datangnya hal-hal yang tidak terduga atau untuk menjaga kelangsungan hidup generasi yang akan datang.
Walau sudah menjadi jamaknya seorang wanita menyukai hal-hal yang bersifat kebendaan, atau materialistik, namun pada dasarnya hal yang demikian dilarang dalam Islam hal ini terlihat dari hadits dari Ibnu ‘Abbas ra: ”Ada empat perkara siapa mendapatkannya berarti kebaikan dunia akherat, yakni hati selalu bersyukur, lisan selalu berdzikir, bersabar saat mendapat musibah dan perempuan yang mau dikawini bukan bermaksud untuk menjerumuskan (suaminya) dalam perbuatan maksiat dan bukan menginginkan hartanya.“ (HR. Thabrani, Hadits Hasan).
Referensi:
- Lisdy rahayu dan Candra Nila MD, 2015, Istri bahagia berpedoman pada Qur’an dan Hadis, Qibla, Jakarta.
Discussion about this post