Alih-alih dengan adanya 3 lapis pengawasan yang dikerahkan memantau kinerja PT Sumber Midya Karya, untuk mensukseskan proyek Pembangunan Gedung Kantor Pariwisata Kota Pariaman, ternyata tetap saja tidak mampu dijadikan pembuktian menyoal pelaksanaan proyek yang diharapkan dapat berjalan sesuai perencanaan. Heran, pengawasan yang dilakukan pemilik proyek Dinas PUPR Kota Pariaman, pengawasan konsultan pengawas, dan pengawasan TP4D dari kejaksaan itu tetap tidak dapat mencegah kecurangan kontraktor. Loh..?
PARIAMAN, REPORTASEINVESTIGASI.com
Pasalnya, dari serangkaian informasi hasil telusuran media ini mengungkap fakta, bahwasanya lecut tangan PT Sumber Midya Karya selaku pelaksana, diduga pernah bermasalah sewaktu pengerjaan proyek Pembangunan Rehab Gedung Kantor Pengadilan Agama Pariaman tahun anggaran 2016 lalu.
Keraguan media menilai kemampuan perusahaan pelaksana yang beralamat di Bukittinggi ini, terjawab. Tak habis pikir, rupa-rupanya kinerja dari perusahaan “rental” yang dibawa oleh banyak kontraktor ini, masih dipercaya oleh Pokja Lelang Kota Pariaman. Apa iya, kegagalan perusahaan pelaksana dalam tahun lalu mengerjakaan proyek pembangunan gedung, meski di instansi berbeda, tidak menjadi acuan oleh Pokja ULP, padahal nilai pagudana proyek itu berasal dari APBD Kota Pariaman dengan nilai Rp. 4.944.071.000, ada apa dengan ULP?
Dikabarkan untuk saat ini, perusahaan “rental” (PT Sumber Midya Karya) yang dipercaya mengerjakan proyek pembangunan gedung kantor pariwisata, adalah kontraktor lokal yang tak asing lagi didengar namanya, yang mana tak jarang proyek yang dikerjakannya ditemukan media ini kerap bermasalah.
Terlepas dari itu semua. Menyoal kinerja pelaksana proyek pembangunan gedung kantor pariwisata, dari hasil investigasi media ke lokasi proyek yang terletak di Ampalu, Kota Pariaman Minggu (22/10/17), sejumlah kecurangan pekerjaan diduga kuat tengah berlangsung.
Bagaimana tidak. Kontraktor pelaksana telah berupaya mencurangi volume besi. Pasalnya, untuk pemakaian tulangan pokok (besi ulir) berdiameter 16 mm, pengukuran riilnya hanyalah terhitung 15 mm.
Tak sampai di situ saja. Pemakaian besi banci oleh rekanan juga tampak dari pemakaian besi begol (sengkang). Besi polos yang digunakan untuk pembetonan kolom, sloof ini ternyata berdiameter 8 mm.
Padahal keterangan ketebalan diameter besi di lokasi adalah 10 mm. Anehnya, merk besi yang digunakan pun beragam pula, ada TP ada pula CK (bukan KS sesuai standar volume pembesian), rata-rata semua itu punya diameter 8 mm. Sementara kedalaman pondasi tapak gajah yang berdiri di atas tiang pancang, diduga dikurangi.
Selain errornya pembesian untuk proyek pembangunan gedung kantor pariwisata itu, kontraktor pelaksana juga memainkan adukan pasangan lantai kerja, terbukti, adukan semen pasangan batu kali dan lantai kerja, terlihat pecah dan keropos.
Kendati pun pasangan pondasi batu kali bukan termasuk dalam struktur, hanya sebagai kedudukan sloof saja dan alas bawah sloof. Seperti yang diutarakan PPK kegiatan Feri Andri barusan, pada Minggu malam (22/10/17), tetap saja keroposnya mutu pasangan akan berdampak kepada lantai yang amblas. Belum lagi keberadaan tiang pancang yang terletak di lokasi bermutu buruk, konstruksi tiang pancang yang mudah pecah membuktikan mutu produksi pancang yang dipesan diduga dimainkan.
Hal tersebut dibantah PPK, Feri Andri menyampaikan bahwa pengujian beton pancang sudah dilakukan lebih dulu. “Uji beton dengan hammer tes sudah kita lakukan sebelum pemancangan. Ketemunya diatas rata-rata. Masalah dimensi besi besok di chec dan akan disesuaikan dengan bestek. Tks.” Jawabnya. Namun Feri Andri enggan menjawab pertanyaan media yang mengungkap kecurangan pekerjaan yang dilakukan kontraktor pelaksana. Sanggupkah ke tiga pengawas itu mengambil tindakan tegas, membongkar pekerjaan yang melenceng dari perencanaan? Kita lihat episode selanjutnya. IDM
Discussion about this post