DHARMASRAYA — Merasa kebal dengan hukum sehingga perkebunan sawit yang diduga milik pribadi Haji Zamzami, dengan luas ribuan hektar yang berlokasi di Kenagarian Timpeh, Kecamatan Timpeh Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat itu, terindikasi tidak mengantongi izin lengkap. Seperti izin usaha perkebunan (IUP) dan hak guna usaha (HGU), sehingga tak hayal mendapat sorotan yang serius dari kalangan masyarakat setempat.
Zuhri sebagai kepala kerja saat dikonfirmasi media ini di kamp perkantoran perkebunan sawit tersebut, membenarkan kebun kelapa sawit ini milik pribadi Haji Zamzami, dia mengakui untuk mendapatkan Alahan ini dulunya, dengan secara dibeli kepada masyarakat setempat.
“Kalau masalah dasar bapak Haji Zamzami membuka perkebunan sawit ribuan hektar ini berdasarkan sertifikat itu sepengetahuan saya. Tapi kalau masalah izinnya saya tidak mengetahui detil, sebab bukan kapasitas saya untuk meneranginya sama rekan rekan media,” singkatnya Zuhri.
Sementara Kepala Bidang Penataan dan Penataan Lingkungan Hidup, Kabupaten Dharmasraya Lasmiyati S.Si, M.Si menjelaskan bahwa di Kenagarian Timpeh sampai saat ini belum ada menerima dokumen persyaratan untuk pengurusan izin lingkungan.
“Kami belum ada menerima dokumen persyaratan izin lingkungan dari Dinas PMPTSP Kabupaten Dharmasraya, dan mengenai AMDAL atau UKL/UPL untuk perkebunan sawit di Kenagarian Timpeh belum ada mengeluarkannya sebagai kelengkapan dokumen permohonan izin sampai saat ini,” terang Lasmiyati.
Di sisi lain, Senin (31/8), Kabid Pelayanan Perizinan dan Nonperizinan, Kabupaten Dharmasraya, Henli Yosrika Melda SH juga mengatakan hal yang senada, bahwa dokumen yang ada diarsip tidak ada mengeluarkan izin atas nama Haji Zamzami.
“Kami tidak ada atas nama Haji Zamzami mengajukan surat permohonan untuk pengurusan izin usaha perkebunan untuk di Kenagarian Timpeh sampai saat ini. Sesuai dengan persedur tentu ada surat rekomendasi dari Dinas Pertanian Bidang Perkebunan sebagai teknis lampiran pengurusan izin usaha perkebunan tersebut. Tapi kami belum ada menerima surat rekomendasi itu sampai saat ini,” singkat Kabid muda itu.
Sementara Pahrevi Yani, dari anggota Badan Penelitian Aset Negara DPP Lembaga Aliansi Indonesia, menjelaskan sesuai dengan Permentan 98/2013 yang telah mengatur tentang perkebunan dengan luas 25 hetar atau lebih, wajib memiliki izin usaha perkebunan untuk budidaya (IUP-B), dan juga hak guna usaha (HGU) dan untuk pengurusan izin tersebut.
Menurutnya, pengusaha harus menempuh prosedur yang telah ditentukan oleh pihak pemerintah. “Kalau mengalihkan fungsi Alahan sesuai dengan prosedur tentu pengusaha memasukkan surat permohonan kepada pihak Dinas Kehutanan untuk melakukan cursing lapangan, apakah lokasi tersebut berpotensi kayu apa tidaknya,” sebutnya.
Sebab, katanya lagi, apabila berpotensi kayu harus tentu sebelum ditumbangkan harus dibayar dulu dana rebornisasi ke negara.
“Setelah itu baru di urus izin pemufaatan kayunya (IPK). Selain itu bagai mana pula mengenai status Alahannya apakah di areal lokasi kawasan apa tidak,” terangnya.
Selanjutnya, masih kata Pahrevi Yani menjelaskan, usaha perkebunan tersebut yang memiliki dampak terhadap lingkungan hidup wajib memiliki izin lingkungan. “Jika tidak maka pelaku usaha tersebut dapat dipidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun. Dan denda paling banyak 3 miliyar, sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH Pasal 36, disebutkan setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL UKL/UPL wajib mengantongi izin lingkungan. Kemudian dalam pasal 40 disebutkan izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan atau kegiatan. Apakah prosedur ini sudah dijalani oleh pengusaha tersebut,” tutup Revi. (tim)
Discussion about this post