Sumbar — Siapa bilang perempuan tidak bisa mengimbangi tugas kaum laki-laki? Buktinya, perempuan kelahiran Padang tahun 1972 yang bernama Revila Oulina, memberanikan diri untuk ikut tes TNI pada tahun 1996. Namun, karena belum nasib, pada tahun itu Revila belum lulus. Tetapi Revila tidak berputus asa, pada tahun 1998, dirinya mencoba lagi untuk tes. Dan “alhamdulilah”, Revila diterima sebagai TNI Angkatan Udara (TNI AU) dengan penempatan pertama di Bandung.
Revila yang sehari-hari dipanggil dengan Uniang ini, menceritakan kisahnya kepada wartawan reportaseinvestigasi.com melalui pesan pada WhatsApp-nya, yang diterima Jum’at (17/7/2020).
Perempuan ini menceriatakan jenjang pendidikannya, mulai dari SD dan SMP di Kampung Dalam, Kabupaten Padang Pariaman. Kemudian melanjutkan kepada SPG 2 di Padang. Setelah melanjutkan ke Universitas Bung Hatta Padang. Belum puas sampai (S1) Revila terus melamarkan Uninus dan Unnur Bandung dan tamat (S2).
Perempuan 9 bersaudara ini, mengaku ketika kuliah di Bung Hatta mengambila Fakultas Ilmu Pendidikan (FKIP) Jurusan Bahasa Inggris. Ketika mulai duduk di bangku kuliah, minat untuk masuk menjadi TNI sudah mulai timbul. Untuk memulai niatnya itu Revila masuk organisasi di kampus yaitu Resimen Mahasiswa (Menwa).
Walaupun digelar dengan polisi kampus. Tetapi untuk lulus tesnya pun setengah mati baru bisa lulus. Latihannya persis kayak militer dan di dalam organisasi Menwa, diajari tentang ilmu kemiliteran dengan disiplin yang tinggi.
Perempuan yang mengaku bersuku Piliang ini, menceritakan setelah mengikuti pendidikan di Pusdik Kowad Bandung tahun 1998. Kemudian dilantik sebagai Letnan Dua (Letda) dan langsung disekolahkan sebagai bekal di kesatuan.
Putri dari pasangan almarhum Mukhtar dan almarhumah Hj. Nursina merupakan anak ke 8 dari 9 bersaudara.
Sebagai tempat tugas pertama, Revila ditempatkan di Lanud Sulaiman Bandung. Selama berdinas, Revila juga mengikuti sekolah-sekolah dan kursus untuk menunjang karir. Penempatan di militer tidak hanya satu tempat saja, sekali 2 tahun pindah dari satu satuan ke satuan lain.
Ibu dua orang anak ini, kini telah berpangkat Letkol. Sebelumnya mengikuti Pendidikan Seskoau tahun 2015 di Lembang Bandung dan sekarang ibu dari Shayidina Daffa Devilla berdinas di Sekolah Komando Kesatuan Angkatan Udara (SEKKAU) Halim Perdana Kusuma Jakarta sejak tahun 2018, sampai sekarang.
Perempuan yang akrab dipanggil dengan Villa ini, menjelaskan anak keduanya bernama Shayidina Ramadhiqa Divilla lahir di Bandung 30 September 2006. Kini baru duduk kelas 3 SMP di Kota Bandung. Sedangkan yang besar sudah duduk kelas 2 SMA lahir pada tanggal 1 Juli 2004 di Bandung.
Misi PBB di Sudan, Negeri Tanpa Awan
Revilla bersama 6 (enam) TNI lain pada 12 Juni 2017 diterima Duta Besar RI untuk Sudan dan Eritrea, Burhanuddin Badruzzaman. Mereka adalah Letkol Cpl Fanlik Efendi, Letkol Laut/P Awang Bawono, Mayor Pnb Arif Sujatmiko, Mayor Laut/P Irianto, Mayor Inf Patria, Mayor Mar Laili N.
Sudan disebut dengan negeri tanpa awan, karena selama bertugas di Sudan jarang dilihat ada awan, yang ada hanya terik matahari di siang hari yang panasnya mencapai 45 derajat. Kalau pun ada hujan sangat jarang sekali, jangan harap 1 kali dalam sebulan. Tetapi hanya dua kali dalam setahun.
Untuk sampai ke Negara Sudan membutuhkan waktu 16 jam perjalanan. Negara Sudan juga disebut Kota Khourtum. Dari kota itu, melanjutkan lagi perjalanan dengan pesawat UN Flight, selama 2 jam penerbangan dari ibu Kota Sudan untuk sampai ke daerah misi HQ Elfasher.
Disebutkan lagi, dalam menjalankan tugas di HQ Elfasher itu, butuh penyesuaian diri, terutama lingkungan udara yang kurang bersahabat. Apabila siang hari panasnya minta ampun dan kalau malam dinginnya juga minta ampun. Tetapi karena tugas, Revilla dapat melaluinya bersama orang-orang dari negara yang ditugaskan berasal dari berbagai negara belahan dunia dengan culture yang berbeda pula.
Negara Sudan tidak asing lagi bagi Revilla. Penduduknya, mayoritas muslim dan bahasa sehari-hari yang digunakan bahasa Arab. Berbeda sekali dengan negara Indonesia. Negara mayoritas muslim ini jarang mendengar suara azan berkumandang saat waktu shalat masuk.
Tetapi kalau di Indonesia. Setiap waktu shalat masuk suara azan dikumandangkan sebagai pertanda waktu shalat sudah masuk dan sekalian mengajak orang untuk datang ke mesjdi melaksanakan shalat wajib tersebut.
Pada bulan Puasa selalu menanti suara azan. Khususnya pada waktu saat berbuka datang dan bertepatan dengan shalat maqrib. Setelah seharian bertugas pada suhu udara 45 derajat. Karena tidak ada suara azan, terpaksa berbuka dengan mengira-ngira saja.
Lama berpuasa di Sudan, mulai pukul 4.30 waktu setempat, sampai pukul 19.00 malam. Tapi itu semua tidak menjadikan alasan untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan.
Pada waktu cuti pertama bulan Oktober 2017, Revilla sampai melaksanakan ibadah umrah ke Mekkah, karena perjalanan dari Sudan ke Jeddah.
Sebelum kembali ke Tanah Air pada tahun 2018, Revilla melakukan Traveling ke Mesir, untuk melihat ragam budaya dan tempat wisata yang ada di Cairo. “Alhamdulillah, semua dapat berjalan dengan lancar ke tanah air tercinta,” ujar perempuan berdarah Minang ini. Tepatnya di Kampung Dalam.
Selama bertugas di Sudan banyak pengalaman suka dan duka yang dirasakan. Pada daerah misi, banyak bertemu dan berteman dengan orang-orang yang datang dari berbagai negara dengan tujuan yang sama yaitu ikut misi kemanuasiaan.
“Walaupun berbeda budaya, agama dan makanan. Tapi tidak menghalangi untuk bersatu di bawah naungan UN Peacekeeper. Bekerja dengan orang luar tidak begitu sulit di dalam penyesuaian diri, mereka sangat baik, ramah tamah dan suka membantu,” ucap Villa.
Ditambahkan, berteman dengan orang yang beda negara sangat menyenangkan, karena merupakan pengalaman baru buat diri kita, mereka berteman apa adanya dan tidak ada yang bermuka dua, umumnya semua boleh dibilang baik.
Villa juga berpesan kepada yang berminat ikut misi jangan takut atau kuatir tidak akan ada teman atau dikucilkan di sana, justru banyak sekali yang mau jadi teman. Dengan catatan, harus pandai bahasa asing, seperti Engglish dan bahasa Arab.
Bahasa yang digunakan sehari-hari di negeri tanpa awan ini adalah bahasa Arab 95 persen, masyarakatnya muslim, semua wanita Sudan yang dijumpai memakai busana muslim. Tetapi belum memakai hijab, mereka memakai selendang menutup kepalanya.
Demikian kisah Revilla Oulina, dari mengikuti misi PBB di Negara Sudan. Negara yang disebut tanpa awan. Semoga kisah ini dapat penyemangat bagi perempuan lain di Indonesia. “Jangan merasa minder dengan prediket “padusi”,” ucap Villa mengakhiri ceritanya. (aa)
Discussion about this post