Oleh: Syafri Piliang
Wartawan Muda
Di akhir tahun kembali menghadirkan catatan kelam bagi banyak daerah di negeri ini. Di Sumatera Barat, bencana datang tanpa jeda, memperlihatkan betapa rapuhnya ruang hidup yang kita tempati saat ini.
Belum surut kekhawatiran publik atas isu mega-trust geologi, curahan cuaca ekstrem justru menambah panjang daftar musibah. Bukan hanya Kota Padang saja yang merasakan getirnya, tetapi juga di sejumlah kabupaten lain yang ada di Sumbar.
Sejak kejadian dan sampai hari ini Pemprov Sumbar belum berani mengeluarkan data resmi terkait dengan berapa jumlah kerugian yang dialami warga dan jumlah korban jiwa yang diakibatkan oleh banjir bandang dan tanah longsor.
Sementara di Kabupaten Dharmasraya, sebagian orang tua, bagi anaknya yang menimba ilmu di kota bingkuang itu dilanda kecemasan. Bahkan sampai ke provinsi tetangga tempat para perantau dan mahasiswa bertumpu pada harapan.
Hujan yang turun tanpa ampun mengubah sungai menjadi amukan, meluapkan air yang merobohkan pemukiman dan menghanyutkan harta benda. Di sejumlah wilayah, banjir bandang merenggut nyawa dan menyisakan duka yang sulit terperikan.
Namun jauh di balik setiap bencana, seharusnya terselip sebuah renungan: bahwa ini bukan sekadar takdir yang datang begitu saja. Ada jejak manusia di dalamnya—dalam cara memperlakukan alam, mengelola ruang, dan menjaga keseimbangan lingkungan.
Kerusakan kawasan hulu, pembangunan tanpa kendali, serta lemahnya perencanaan mitigasi membuat masyarakat selalu berada dalam posisi paling rentan. Ketika alam menunjukkan kuasanya, kita tersadar bahwa kelalaian jangka panjang tak bisa dihapus hanya dengan rasa sesal sesaat.
Serentetan musibah ini seharusnya menjadi cermin bagi pemerintah dan masyarakat. Penguatan mitigasi bencana, perbaikan tata ruang, hingga edukasi publik tak boleh lagi hanya menjadi wacana. Di tengah perubahan iklim yang kian ekstrem, kesiapsiagaan bukan pilihan melainkan keharusan.
Yang paling penting, musibah ini mengingatkan manusia pada tanggung jawab moral dalam menjaga alam semesta sebagai amanah, bukan sumber daya yang bisa dieksploitasi tanpa batas. Tapi kita lupa, bahaya akan mengancam.
Karena kadang kala, ketika kita lupa sebagai manusia bahwa alam mengingatkan kita dengan caranya sendiri. Namun terkadang peringatan itu semakin sering datang, semakin keras, dan semakin menguras duka.
Semoga dari setiap bencana lahir kesadaran baru yang lebih kokoh, bukan sekadar belas kasihan yang cepat berlalu. Tapi kenyataan ini menjadi ujian bagi setiap insan. Tentu kembali kepada kita yang mesih di berikan kesempatan untuk bernafas lega. ***



Discussion about this post