Oleh: Prima Murya
Koordinator Wilayah Sumsel Reportase Investigasi
Mari kita sejenak menoleh ke masa lalu, ketika jalanan masih remang-remang, jauh sebelum gemerlap lampu kota menghiasi setiap sudut ruang.
Di era pra-milenium dan sebelum semangat Reformasi bergulir, sepeda merupakan kendaraan roda dua tanpa mesin, lazimnya beroperasi tanpa penerangan memadai.
Dalam kegelapan malam, risiko mengintai pengendara bisa saja terjadi, menabrak apa pun yang menghalangi jalan.
Analogi “sepeda tanpa lampu” ini menjadi relevan saat kita berbicara tentang kondisi hari ini. Ibarat mengendarai sepeda tanpa lampu di tengah malam, bertindak tanpa acuan, izin, atau pedoman yang jelas sama dengan berjalan dalam kebutaan.
Konsekuensinya bisa fatal yakni menabrak aturan, melanggar etika sosial, dan meruntuhkan fondasi kepercayaan yang telah dibangun oleh generasi sebelumnya.
Salah satu contoh nyata adalah fenomena jual beli “kartu kewartawanan” yang semakin marak. Dengan mudahnya, “kartu” ini diperjualbelikan di platform media sosial dengan harga ratusan ribu rupiah untuk masa berlaku setahun.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: di manakah peran pengawas yang mengaku kompeten?
Pembeli “kartu” ini, dalam menjalankan tugasnya, seringkali kehilangan arah dan tujuan. Mereka menerobos tanpa aturan yang jelas, mengabaikan kode etik, dan dengan kemampuan yang minim, mereka menabrak batasan-batasan yang ada.
Hasilnya adalah kerusakan, propaganda, dan keresahan bagi publik. Ibarat coretan tangan jahil seorang balita pada tempat manapun ia temukan.
Penulis melihat ini merupakan fenomena yang sudah “kebablasan”. Makna kebebasan telah diinterpretasikan terlalu luas, tanpa batasan yang jelas.
Namun, ini hanya berlaku bagi mereka yang gagal memahami esensi kebebasan yang sebenarnya. Karena kebebasan sejati adalah kebebasan yang bertanggung jawab, yang menghormati aturan dan etika, serta memberikan manfaat bagi masyarakat menuju perubahan, memberikan edukasi memalui publikasi pada ruang publik.



Discussion about this post