Oleh : Prima Murya
Kaperwil Sumsel
Di Negeri Konoha yang fiktif, dilema pupuk bersubsidi menjadi duri dalam daging para petani. Kebijakan pemerintah pusat yang bertujuan mulia, menurunkan harga pupuk sebesar 20% per 22 Oktober 2025, bak fatamorgana di padang pasir. Harga di tingkat petani hanya bergerak tipis, seolah ada kekuatan tak kasat mata yang menahannya.
Lingkaran setan harga jual pupuk subsidi ini dipenuhi para “penghisap darah” petani. Cita-cita luhur bangsa yang tertuang dalam UUD 1945, bahwa sumber daya alam dikelola negara untuk kemakmuran rakyat, terasa seperti isapan jempol belaka. Para pejabat di Konoha seolah menutup mata dan telinga terhadap jeritan petani, berlindung di balik alibi klise “semua aman terkendali”.
Ketika temuan kejanggalan disodorkan, mereka yang seharusnya menjadi garda terdepan pengawasan, justru saling lempar tanggung jawab. Kolaborasi jahat antara oknum pejabat dan pengawas pupuk bersubsidi terjalin rapi, bagaikan tim sepakbola yang bekerja sama untuk “mengoalkan” dalam kemufakatan haram.
Mencari solusi terasa seperti mengurai benang kusut. Oknum pejabat bidang pupuk di Konoha berkelit. “Kami sudah survei, harga sesuai HET. Jika ada yang menjual di atas HET, laporkan dengan bukti kwitansi.” Ironisnya, petani tak pernah menerima kwitansi pembelian.
Dinas Pertanian Konoha pun tak kalah lihai. “Harga sudah sesuai HET. Jika ada yang melanggar, akan kami beri sanksi.” Namun, ketika bukti video disodorkan, mereka berdalih bahwa urusan harga adalah tugas dinas perdagangan dan petugas pengawas pupuk bersubsidi (P3B), itupun harus melalui kajian yang berbelit-belit.
Dinas Perdagangan Konoha pun tak mau kalah. “Kami hanya anggota P3B, tanggung jawab ada di Dinas Pertanian.” Kesimpulannya? Senyumin aja.
Program Presiden melalui Kementan tentang penurunan harga pupuk bersubsidi sebesar 20% hanya menjadi macan kertas di Konoha. Mereka yang bertugas mengawasi, justru meninggalkan kesan adanya “permainan haram” dalam penyaluran pupuk subsidi.
Jeritan petani seolah tak tersampaikan. Para pejabat yang membidangi pengawasan pupuk bersubsidi, tutup mata terhadap ketentuan Kementan dan program presiden untuk kemakmuran petani. Namun, semua ini terjadi bukan di sini, melainkan di negeri Konoha yang jauh dari pantauan pusat.
Para petani yang berkeringat, menanti hasil panen tiba, berharap harga jual hasil pertanian mereka dihargai dengan pantas. Mereka berharap esok ada asa, harga jual hasil perkebunan mereka dapat dijual dengan harga tinggi.
Namun, nasib para petani seolah diintai oleh para “penghisap darah”, gerombolan pecundang yang berkolaborasi dengan pengawas pupuk bersubsidi. Permainan kotor penikmat uang haram ini bagaikan “rampok di siang bolong.” Tapi itu terjadi bukan di sini, hanya di Negeri “Konoha”.



Discussion about this post