Oleh : Dian Istiqomah, Pemerhati Ketahanan Pangan/Anggota DPR RI 2019-2024
Kita menyaksikan dilema klasik yang kian akut: harga gabah petani sering kali tertekan, sementara harga beras di pasar melambung hingga menembus Rp15.000/kg pada Agustus lalu. Situasi ini, yang terjadi di kuartal IV tahun 2025, bukan sekadar fluktuasi musiman.
Ini adalah sebuah ketidakadilan struktural yang secara sistematis menguntungkan para pedagang perantara dan kartel, sementara membebani petani dan konsumen berpenghasilan rendah. Harapan publik yang ditambatkan pada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menuntut lebih dari sekadar laporan statistik ketersediaan stok; mereka menuntut revolusi agraria yang menjamin martabat petani dan ketenangan di dapur.
Di tengah gempuran tantangan eksternal—seperti perubahan iklim yang brutal, ketegangan geopolitik yang mencekik rantai pasok impor, dan fluktuasi nilai tukar Rupiah—musuh utama kita tetaplah cengkeraman oligarki dan korporasi yang memanfaatkan kegagalan struktural domestik.
Pilar kelembagaan seperti Perum Bulog dan Badan Pangan Nasional (Bapanas) sebagai “otot dan otak” tata kelola pangan, telah terjebak dalam perangkap Orde Baru: mengukur keberhasilan hanya dari stabilitas harga jangka pendek yang rentan disubsidi. Politik pangan presisi yang dicanangkan tidak boleh berhenti pada urusan teknologi dan data gudang semata; ia harus diterjemahkan menjadi aksi terukur untuk menegakkan keadilan.
Memutus Rantai Ketidakadilan
Jalan keluar dari jeratan ini adalah dengan merombak total peran Bulog. Bulog tidak bisa lagi beroperasi hanya sebagai data-driven operator yang sekadar memantau cadangan beras pemerintah, yang per Oktober 2025 mencapai sekitar 3,9 juta ton. Bulog harus bertransformasi menjadi Lembaga Intervensi Pangan Publik (LIPP) yang agresif, dengan otoritas dan anggaran yang didedikasikan untuk memotong mata rantai ketidakadilan yang dikuasai Korporasi.
LIPP harus mengamalkan prinsip Penyaluran Langsung (Direct Procurement). Artinya, LIPP harus berani menyerap hasil panen hanya melalui Kelompok Tani atau Koperasi Primer. Model Koperasi menyediakan kekuatan tawar kolektif yang tidak dimiliki petani individu, menjadikannya satu-satunya benteng ekonomi yang efektif melawan praktik harga sepihak dari penggilingan besar (Korporasi).
Dengan memotong mata rantai spekulatif dan memastikan LIPP bertransaksi dengan entitas non-profit yang dimiliki petani sendiri, margin keuntungan dapat dipastikan kembali ke akar rumput, memberikan harga jual yang layak, sekaligus menenangkan harga eceran bagi konsumen. Strategi ini secara instan menargetkan kesenjangan harga, menjadikannya solusi paling konstruktif.
Di sisi kebijakan, Bapanas harus memperkuat integrasi data pangan nasional (One Data Food System) yang disertai transparansi radikal. Tidak cukup sekadar menampilkan dashboard informasi, tetapi juga mewajibkan audit terbuka terhadap rantai pasok. Bapanas harus berani Menetapkan Harga Acuan Pembelian (HAP) dan Harga Acuan Penjualan (HAP) yang bersifat mengikat secara hukum, bukan hanya imbauan.
Pembatasan margin keuntungan perantara (Korporasi) adalah kunci. Apabila terjadi kenaikan harga mendadak, seperti yang terjadi pada Agustus, politik presisi harus berarti penegakan hukum yang keras terhadap praktik penimbunan dan manipulasi harga, yang secara esensial merupakan kejahatan terhadap hak hidup rakyat.
Lumbung Pangan Komunal
Kegagalan struktural kedua yang harus didobrak adalah ketergantungan berlebihan pada beras (hampir 90% kebijakan pangan). Di era perubahan iklim ekstrem, ketergantungan ini adalah pertaruhan yang sangat mahal. Solusi fundamental dan paling tangguh adalah diversifikasi total yang didasarkan pada otonomi pangan lokal, bukan pada model agribisnis Korporasi terpusat.
Pemerintah harus mengganti konsep Government Rice Reserve yang terpusat di gudang-gudang besar dengan Lumbung Pangan Komunitas yang tersebar di tingkat desa atau kecamatan. Konsep Lumbung Pangan Komunitas harus didorong sebagai tulang punggung ekonomi Koperasi Unit Desa (KUD) modern.
Model ini memberdayakan masyarakat lokal untuk mengelola dan menyimpan stok pangan non-beras—seperti sagu, jagung, dan umbi-umbian—yang jauh lebih tahan terhadap guncangan iklim, sekaligus menjadikan Koperasi sebagai pengendali suplai dan harga non-beras.
Data dari Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa wilayah Indonesia bagian Timur memiliki potensi besar untuk sagu dan umbi, namun kebijakan alokasi anggaran belum optimal. Lumbung Komunitas yang dikelola Koperasi menjadi instrumen efektif untuk memasifkan diversifikasi pangan lokal dan mengurangi tekanan harga pada beras secara nasional.
Pada akhirnya, politik pangan di era ini harus mendobrak pola pikir bahwa pangan adalah komoditas yang tunduk sepenuhnya pada mekanisme pasar. Langkah penolakan impor hingga akhir tahun hanyalah solusi jangka pendek yang ditopang oleh stok yang ada. “Saya tidak pernah percaya bahwa suatu bangsa bisa merdeka kalau dia tidak bisa produksi pangannya sendiri, tidak ada dalam sejarah manusia. It doesn’t happen. It will not happen.” (Presiden Prabowo Subianto).
Kalimat ini adalah cermin fundamental yang menguji arah sebuah kekuasaan. Keadilan pangan menuntut mandat konstitusional yang lebih tinggi yang menempatkan hak petani atas harga layak dan hak konsumen atas pangan terjangkau di atas efisiensi operasional semata.
Politik pangan yang sejati adalah cerminan paling jujur: ia mengembalikan kedaulatan dari tangan korporasi dan spekulan ke tangan rakyat: petani, buruh, dan setiap kepala keluarga Indonesia melalui penguatan Koperasi sebagai entitas ekonomi utama.



Discussion about this post