Dharmasraya – Sebuah komentar ringan di media sosial bisa menjelma menjadi badai politik. Itulah yang kini tengah menghantam Wakil Bupati Dharmasraya, Leli Arni, setelah ia ikut menanggapi sebuah unggahan di Facebook yang menyinggung isu asusila terhadap Ex Bupati Dharmasraya periode 2025 – 2010 Marlon Rangkayo Mulie.
Bagi sebagian orang menilai komentar itu mungkin hanya sekadar candaan. Tapi bagi sejumlah tokoh masyarakat, tindakan Leli Arni adalah “lompatan yang salah arah” baik secara etika, politik, maupun budaya.
Dari Pulau Punjung, Raja Kerajaan Pulau Punjung Abdul Haris Tuanku Sati tampak kecewa. Suaranya terdengar berat ketika ditemui wartawan, Minggu (26/10/2025).
“Sebagai pejabat BA 2 V, tidak seharusnya Buk Leli ikut berkomentar terkait isu kotor terhadap seorang yang bergelar datuak,” katanya.
Bagi Tuanku Sati, isu itu bukan sekadar persoalan politik. Marlon bukan hanya mantan kepala daerah, tapi juga pangulu kaum di Pulau Punjung. “Isu itu belum terbukti, tapi sudah dijadikan bahan tertawaan oleh seorang pejabat daerah. Ini bukan hanya melukai nama Marlon, tapi juga marwah adat,” ujarnya.
Ia menyebut, Leli Arni gagal membaca suasana sosial masyarakat. “Saya jadi ragu, apakah wakil ini tidak tahu keadaan atau sengaja. Atau jangan-jangan ada kepentingan pribadi?” sindirnya.
Tuanku Sati menilai, tindakan itu telah menodai nilai kepemimpinan yang seharusnya dijaga oleh seorang pamong senior. Ia menuntut permintaan maaf terbuka dari Leli Arni kepada masyarakat, karena komentar itu telah memicu ketersinggungan di kalangan ninik mamak dan anak kemenakan.
Nada serupa datang dari Taufik Sukur, tokoh masyarakat Sungai Dareh. Ia menilai tindakan wakil bupati sudah kelewatan.
“Sebagai pejabat publik, ia tidak pantas ikut bermain dalam politik praktis yang berpotensi mengganggu stabilitas sosial. Isu itu belum terbukti, tapi sudah diperlakukan seperti fakta,” ucapnya.
Taufik menekankan, seorang wakil bupati seharusnya menjadi mitra bupati, bukan lawan atau pesaing. “Tugasnya membantu kepala daerah, bukan membuat gerakan-gerakan yang tidak jelas. Kalau sudah ikut bermain isu, itu sama saja menyalakan api di rumah sendiri,” katanya tajam.
Sementara itu, dari Nagari Koto Baru, Mulyadi S.Ag menyoroti persoalan etika. Ia menyebut perilaku Leli Arni tidak mencerminkan adab politik yang baik.“Sebagai sesama orang Koto Baru, saya malu,” ujarnya pelan.
“Buk Leli itu birokrat dan politisi senior. Semestinya beliau bisa lebih beradab dan berhati-hati. Pemimpin itu harus memberi contoh, bukan menertawakan orang lain.”
Mulyadi menambahkan, apa yang dilakukan Leli justru mengikis rasa hormat masyarakat terhadap jabatan yang ia emban. “Saya berharap beliau fokus pada pengabdian. Tinggalkanlah sesuatu yang baik untuk dikenang. Jangan mau diperalat,”tuturnya.
Semua bermula dari sebuah komentar. Di salah satu akun Facebook yang beredar unggahan yang menyinggung isu asusila terhadap Marlon Rangkayo Mulie tersebut telah berulang kali dibantah, baik oleh Marlon sendiri maupun oleh pihak yang disebut-sebut sebagai korban. Namun di tengah arus komentar yang deras, nama Wakil Bupati Leli Arni tiba-tiba muncul.
Ia menuliskan komentar yang dianggap “menertawakan” isu tersebut. Dalam hitungan jam, tangkapan layar itu beredar luas di grup-grup WhatsApp dan menjadi bahan pembicaraan hangat di warung kopi hingga ruang-ruang pertemuan adat.
Bagi sebagian warga, tindakan Leli dianggap “tidak sensitif”. Di tengah kondisi sosial Dharmasraya yang mudah bergejolak, komentar itu dinilai memperkeruh suasana dan menurunkan wibawa pemerintahan.
Leli Arni bukan nama baru di panggung politik Dharmasraya. Ia dikenal sebagai pamong senior yang pernah lama berkecimpung di dunia birokrasi. Namun sejak menjabat sebagai wakil bupati, langkah politiknya kerap disorot karena dianggap kurang sejalan dengan bupati.
Beberapa pengamat lokal menilai, kasus komentar ini memperlihatkan gejala retaknya hubungan politik di pucuk pemerintahan daerah. “Biasanya konflik antara bupati dan wakil bermula dari perbedaan komunikasi, lalu melebar ke isu-isu personal dan politik,” ujar salah satu akademisi di Dharmasraya yang enggan disebut namanya.
Dalam konteks itu, komentar di Facebook bukan sekadar persoalan etika. Ia mencerminkan ketegangan laten dalam pemerintahan daerah antara loyalitas, posisi politik, dan kepentingan pribadi.
Kasus ini menyisakan pelajaran penting bagi pejabat publik di era digital. Satu sentuhan di media sosial bisa mengubah persepsi publik, mengguncang kepercayaan, bahkan mengancam stabilitas politik.
Di Dharmasraya, masyarakat menuntut keteladanan. Mereka ingin pemimpin yang menyejukkan, bukan yang memperuncing isu. Sebab di tanah yang menjunjung adat dan marwah, adab selalu berada di atas politik. (SP)



Discussion about this post