PARIAMAN, R. INVESTIGASI – Wacana pengalihan status RSUD Pariaman dijadikan sebagai rumah sakit khusus penanganan Covid-19 sepertinya berlangsung intens. Meskipun mendapat penolakan hebat dari warga Kota Pariaman, terutama penolakan dari tenaga medis di internal RSUD Pariaman. Namun upaya penolakan yang dilakukan tersebut seakan tidak digubris oleh pihak direksi RS. Buktinya, Kamis (2/4/2020) kemaren Pemprov Sumatera Barat tiba-tiba saja menggelar rapat bersama dengan pihak RSUD Pariaman dan Pemko Pariaman. Tak jelas, siapa saja yang hadir dalam rapat tersebut.
Menengarai hal itu, Ketua DPRD Kota Pariaman yang dihubungi Kamis (2/4/2020) mengatakan bahwa lembaga DPRD Pariaman tidak diikutsertakan dalam rapat tersebut. Secara kelembagaan, DPRD Pariaman telah berusaha menampung aspirasi warga Kota Pariaman yang menolak dijadikannya RSUD Pariaman sebagai RS khusus Covid-19, dengan menyurati Pemprov Sumbar setelah melakukan rapat mendadak bersama anggota DPRD Pariaman, Rabu (1/4/2020).
“Kita tidak tau rapat yang dihadiri pemprov hari ini di RSUD Pariaman itu, apakah terkait dengan penolakan warga Kota Pariaman yang diakomodir oleh DPRD sebagai penyambung lidah masyarakat Kota Pariaman, kan tidak tau. Tapi yang jelas DPRD Pariaman tidak diundang dalam rapat tersebut. DPRD Pariaman pun sudah menyurati pemprov hasil dari rapat yang kita gelar Rabu kemarin untuk meninjau ulang kebijakan menjadikan RS khusus Covid-19. Surat dikirim per hari ini,” sebut Fitri Nora, Kamis (2/4/2020).
Lebih jauh Nora mengatakan, DPRD sebagai wadah penyampai aspirasi bagi warga Kota Pariaman telah menampung gejolak penolakan yang terjadi di arus bawah. “Beberapa hari belakangan tidak henti-hentinya saya dihubungi, baik itu dari sejumlah warga yang menolak, terutama oleh tenaga medis di sana. Mereka yang pertama kali dan paling kuat menolak RSUD Pariaman dialihkan menjadi khusus penanganan Covid-19. Dan sebagai penyambung lidah rakyat, kita hanya menjalankan fungsi legislasi kita. Selain itu kita juga sudah menggeser anggaran APBD Kota Pariaman untuk masalah penanganan Covid-19,” bebernya.
Terpisah, Ketua LSM LAKI Pariaman Azwar Anas menyebut penolakan hebat terjadi di internal RSUD Pariaman lantaran RSUD Pariaman tidak siap dengan segala sarana dan prasananya. Di antaranya ketidaksiapan tenaga kesehatan (nakes), peralatan medis yang tidak memadai, serta dampak sosial yang akan dihadapi nakes.
“Setelah kita berkoordinasi dengan nakes di sana memang mereka total menolak. Dasarnya karena ketidaksiapan nakes, dampak sosial yang mereka hadapi nanti. Karena otomatis nakes akan dikucilkan oleh lingkungannya. Dimana mereka akan tinggal? Selain itu peralatan dan perlengkapan medis untuk menangani Covid-19 ini masih sangat jauh dari kata siap. Belum lagi sarana dan prasarananya yang tidak memadai. Namun yang kita sayangkan sikap direktur yang ngotot menjadikan RSUD ini jadi RS khusus Covid-19. Ini yang jadi masalah,” jelas Anas.
Penolakan juga digaungkan oleh warga Kampung Baru dan warga Kota Pariaman umumnya, terkait dengan lingkungan RSUD yang padat penduduk. Di mana sebut Anas letak RSUD berada di jantung kota, di kawasan padat penduduk, tempat sekolahan, perkantoran, serta perumahan warga. “Warga Kota Pariaman pada umumnya juga menolak. Apalagi warga di sana, toh RS itu berada di kawasan padat penduduk, seperti banyaknya sekolahan berdiri di sana dari SD, SMP dan SMK ada. Lokasi perkantoran, dan juga perumahan,” sebutnya lagi.
RSUD Pariaman Lalai Tangani Pasien Positif Covid-19
Warga Kota Pariaman pada umumnya khawatir dengan ketidaksiapan nakes, peralatan dan perlengkapan medis serta sarana dan prasarana yang masih jauh dari kata siap. Hal itu menjadi tolak ukur bagi warga Kota Pariaman. Terlebih lagi mengingat Kota Pariaman masih dalam kategori zona hijau. Karena sejauh ini belum ada catatan warga Kota Pariaman yang positif terpapar wabah pandemi Covid-19.
Contoh kasus ketidaksiapan RSUD itu dibuktikan juga dengan kelalaian yang dilakukan pihak RS menangani pasien positif Covid-19 yang tinggal di Sintoga, Kabupaten Padang Pariaman. Hal ini disesalkan Kepala Dinas Kesehatan Padang Pariaman Yutriardi, kepada media Selasa (31/3/2020). Dia menyebut RSUD Pariaman lalai dalam menangani pasien positif terjangkit Covid-19.
Kasus siswa SMK Sintoga yang terpapar Covid-19 selepas kembali dari tugas praktek lapangan di Bukittinggi, murni merupakan kelalaian manajemen RSUD Pariaman. “Karena berita awalnya diinfokan negative sama RSUD Pariaman. Namun tiba-tiba dinyatakan positif tanpa ada bukti tertulis. Kami minta hasil positif secara tertulis namun RS tidak memberikan. Coba disampaikan secara tertulis kalau hasilnya positif, tentu kami tidak kecolongan jadinya. Ini kan tidak, tadinya diinfokan negative. Eh, tau-tau berubah positif,” ungkap Yutri.
“Direktur Bermain”, Benarkah Ada Fee di Balik RS Khusus Covid-19?
Direktur RSUD Pariaman, Indria Veluntina bungkam ketika ditanya tentang sejauh mana kesiapan RSUD Pariaman setelah ditunjuk sebagai RS khusus Covid-19. Indria tidak menjawab pertanyaan media kendati telah dihubungi berkali-kali. Indria pun tidak membalas pesan singkat media yang dikirimkan via Whatsapp, sekalipun sudah dibaca, Kamis (2/4/2020).
Konon kabarnya, “ada udang di balik bakwan” di balik penetapan RSUD Pariaman dijadikan khusus Covid-19. Benarkah Direktur RSUD Pariaman keciprat fee pengadaan dari anggaran besar yang bakal digelontorkan pusat menangani pasien Covid-19? Pasalnya, Indria ngotot mengalihfungsikan RUSD Pariaman sebagai RS khusus Covid-19 sekalipun sejauh ini Kota Pariaman berstatus zona hijau bebas dari pasien positif Covid-19.
Menanggapi hal tersebut, narasumber faktual media yang enggan disebutkan identitasnya itu membeberkan kriteria rumah sakit yang akan dijadikan RS khusus Covid-19. Menurut dokter yang bekerja di salah satu rumah sakit terbesar di Riau ini mengungkapkan keteledoran yang dilakukan RSUD Pariaman menangani pasien positif corona di Sintoga. Pihak manajemen RSUD Pariaman diduga bermain-main dengan nyawa pasien.
“Untuk kasus siswa SMK Sintoga yang positif corona itu murni keteledoran RSUD Pariaman. Indikatornya pihak RSUD Pariaman belum berhak menyatakan pasien tersebut negative atau positifnya. Karena memang belum ada kewenangan dari RSUD Pariaman, karena kompetensi dari tim medis yang menangani kasus ini tidak ada di sana. Ada tidak tim medis dari luar dikirim ke situ menangani pasien? Harusnya ada tim medis senior ditempatkan di sana untuk memeriksa, dan alat-alat medisnya bagaimana. Memadai tidak?” ujarnya.
Menurutnya sebelum menentukan pasien tersebut positif atau negative terjangkit Covid-19, pasien dirujuk lebih dulu ke rumah sakit yang ditunjuk seperti RSAM Bukittinggi dan RSUP M. Djamil Padang. “Setau saya smpai hari ini laporan ke dinas kesehatan atau IDI, belum ada surat lampiran RSUD Pariaman masuk kategori rumah sakit perawatan Covid-19,” terangnya.
Selain itu, dokter yang memiliki family di Pariaman ini tidak menampik status RSUD Pariaman yang di bawah standar. “RSUD Pariaman itu, maaf ya. Buat penyakit biasa aja banyak yang gagal. Jauh di bawah standar layaknya. Kita tidak tau apa ada “udang di balik bakwan”. Entahlah ya, saya no comment soal itu,” ujarnya.
RSUD Pariaman Bunuh Diri
Dia juga mengutarakan, bahwa RSUD Pariaman belum bisa dijadikan RS khusus penanganan Covid-19. “Jangankan khusus, untuk dijadikan rujukan pun belum bisa. Sebab apa? Selain alasan itu tadi, alasan yang lebih mendasar adalah Kota Pariaman masih terbebas dari pasien positif corona. Jadi tidak cocok RSUD Pariaman dijadikan tempat khusus Covid-19. Ini menyangkut nyawa orang, jangan dijadikan ujicoba rumah sakit ini untuk penanganan Covid-19,” ulasnya.
“Rumah sakit besar kelas bintang lima saja di Riau sana menolak dijadikan rujukan Covid-19, itu RS Prima Pekan Baru yang punya warga keturunan Tionghoa. Layak dan lulus survey IDI. Tapi dokter-dokter di sana tidak menyanggupi, jadinya batal. Apalagi sekelas RSUD Pariaman mau dijadikan tempat khusus Covid-19? Sama saja dengan bunuh diri namanya. Saya harap jangan sampai lah,” harapnya.
Di antara kriteria rumah sakit yang layak dijadikan rujukan Covid-19, masih katanya, RSUD Pariaman harus mempunyai tenaga medis atau dokter dokter yang siap 24 jam dinasnya. “Dokter dokter itu harus siaga 24 penuh. Alat sudah memadai atau belum. Belum lagi jaminan sosial untuk nakesnya apa sudah disiapkan. Ambulansnya harus khusus juga. Kita berkaca kepada yang sudah ada saja, ya. Bagi rumah sakit yang kompilt peralatannya saja masih banyak nakes yang wafat maupun positif tertular Covid-19 dari pasien. Apalagi RSUD Pariaman, tidak masuk akal dengan keadaan manajemennya seperti ini dipaksa dijadikan sebagai RS khusus. Kasihan kita dengan masyarakatnya,” terangnya mengakhiri perbincangan.
Discussion about this post