Oleh Syafri Piliang
Wartawan Muda
Dharmasraya – Pagi yang berkabut di tepian Sungai Batanghari, deru truk pengangkut sawit sering kali terdengar lebih nyaring dari pada kicauan burung. Ban-ban besar itu meninggalkan jejak panjang di jalan yang retak tanpa henti, seolah mengingatkan bahwa infrastruktur di Dharmasraya tak lagi mampu menahan beban persakitan.
Di sebuah jembatan tua, besi penopang berkarat menjadi saksi diam. Warga menyebutnya “urat nadi yang renta”. Jembatan itu menghubungkan nagari dengan pasar, anak-anak sekolah dengan mimpi, sekaligus petani dengan harapan harga sawit yang lebih baik. Tetapi retakannya makin dalam, menunggu uluran tangan yang tak kunjung tiba.
Melalui tangan dingin Bupati Dharmasraya Annisa Suci Ramadhani akhirnya melirik perusahaan. Dari sebelas yang diminta, tujuh sudah berjanji akan ikut memperbaiki jalan dan jembatan lewat dana Corporate Social Responsibility (CSR). Harapan pun berpindah tempat semula dari kas negara yang kosong ke buku besar perusahaan yang sarat dengan laba tandan TBS.
“Kami berterima kasih atas kepedulian perusahaan. Semoga usaha mereka lancar dan memberi manfaat bagi masyarakat luas,” ujar seorang pejabat Pemkab, di ruang kerjanya yang sederhana. Kata-kata itu manis, tapi juga getir: seolah pembangunan kini berdiri di atas kemurahan hati korporasi, bukan pada janji negara.
Sejak awal masa jabatan, Sang Srikandi dibelit defisit Rp 95 miliar. Rekening pembangunan di Dinas PU bahkan sampai nihil tak tersisa, setelah ditarik pusat demi efisiensi. Maka, jalan-jalan yang retak dan jembatan yang renta harus menunggu derma CSR.
Bagi warga Kecamatan Sembilan Koto seperti Marwan (45), tak penting siapa yang memperbaiki jalan. “Asal cepat bagus. Kalau rusak begini, kami yang rugi. Sawit susah keluar, anak-anak sekolah pun terhambat,” katanya lirih.
Namun, di balik suara-suara rakyat kecil itu, ada pertanyaan yang masih menggantung, sampai kapan urat nadi daerah ini ditopang kemurahan hati korporasi.CSR hanyalah bonus, oase kecil di tengah padang kebijakan. Bila ia berubah menjadi penopang utama, itu pertanda ada yang sakit di tubuh negara.
Di Dharmasraya, aspal mungkin akan kembali mulus, jembatan bisa kembali kokoh.Tetapi pada retakan yang pernah ada, tersimpan sebagai catatan sejarah, tentang janji pembangunan yang belum sepenuhnya ditepati, dan tentang negara yang sesekali lupa bahwa ia hadir untuk menjaga urat nadi rakyatnya.***
Discussion about this post