Oleh Syafri Piliang
Wartawan Muda
Pulau Punjung – Di atas papan jembatan yang Lapuk di Pulau Anjolai, Kecamatan Sembilan Koto, Kabupaten Dharmasraya, Provinsi Sumbar. Bukan hanya kayu yang patah, melainkan juga logika yang dilumat kabar bohong. Saat kebenaran terabaikan, berita berubah jadi pisau yang melukai nurani.
Sejatinya jembatan ini hanya menyimpan kisah besi berkarat dan papan lapuk. Namun, dua pekan terkhir ini menjelma jadi panggung sengketa narasi. Salah seorang oknum wartawati dari salah satu media online. Ia menulis seolah perbaikannya hasil swadaya masyarakat. Faktanya, uang perbaikan mengalir dari kocek PT Swarnabumi Ilman Persada, bukan berasal dari celengan warga.
“ Ini, bukan hendak menghitung -hitung budi. Tapi jangan pula niat baik kami dipelintir,” kata Sutan Riky Alkhalik, pimpinan perusahaan itu dan sekaligus anggota DPRD Dharmasraya. Ia menyebut dorongan datang langsung dari Bupati Annisa Suci Ramadhani. Pulau Anjolai bukan dapil saya.Tapi saat ini kita semua bertanggung jawab untuk itu.
Nada kekecewaan itu bergema di telinga salah seorang tokoh masyarakat Sembilan Koto. Aidil Fitri Dt. Penghulu Bosau. Ia angkat suara, “ Kami sangat berterima kasih kepada Sutan Riky dan Ibu Bupati yang peduli dengan negeri ini. Tentunya kepada masyarakat, jangan mau diadu domba oleh berita bohong.” katanya dengan nada tegas.
Ex Wali Nagari Koto Nan Ampek di Bawuah juga tak menapik sebelumnya memang ada masyarakat yang memperbaiki jembatan itu, namun tidak tuntas karena minimnya biaya.Tapi sekarang ini jelas murni niat baik dari pak dewan bersama ibu Annisa. Padahal dapil anggota lefoslator itu bukan dapil I melainkan di dapil II .” lirihnya seperti menerima durian runtuh.
Luka lama media serampangan dan bukan hanya sekali ini saja. Salah satu oknum wartawan media online itu juga memicu silang sengkarut. Catatan warga Dharmasraya panjang. Karena pernah menuding Bupati keliru karena melaporkan pegawai korupsi ke polisi.
Mirisnya lagi menyulut isu transmigrasi untuk pendatang luar daerah, padahal program yang dirancang adalah transmigrasi lokal dan bukan seperti yang diberitakan itu.
Tak hanya sampai disitu.oknum kuli tinta ini juga menuding Bupati membatalkan sepihak rapat APBD-P 2025 dengan DPRD. Kini, jembatan Anjolai menjadi korban terbaru.
Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik cukup jelas menyebutkan “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.”
Sementara UU Pers No. 40/1999 Pasal 5 ayat (1) menyatakan, “Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.”
Pasal 5 ayat (2) UU yang sama lebih keras lagi, “Pers wajib melayani hak jawab.”Jika rambu-rambu ini ditabrak, media bukan lagi pilar sebagai demokrasi,melainkan pengeruk sensasi.
Pola tulisan tampak jelas pena dijadikan panggung sensasi, bukan alat mencari kebenaran. Dalam genggaman yang salah, berita berubah jadi belati, kelak ia bisa melukai, bisa mengadu domba, bisa menyesatkan publik. Ini, sama halnya bak ibarat membawa bara kelumbung jerami sewaktu – waktu akan terbakar.
Di Pulau Anjolai, jembatan memang sempat patah, tapi bukan logika publik yang perlu diremukkan. Warga butuh kepastian, bukan kabar palsu. Mereka ingin penghubung antarjorong kokoh berdiri, bukan cerita yang membuat hati tercerai.
Sutan Riky sudah merogoh kocek, Bupati sudah mendesak agar jembatan dibangun, masyarakat sudah berterima kasih. Lalu, mengapa berita harus dipelintir seperti itu.
Pers harus bercermin, menjadi wartawan tak cukup hanya sekadar bisa mengetik. Ia butuh nurani, disiplin verifikasi, dan kesetiaan pada kebenaran. Menulis asal jadi hanya akan menciptakan pembodohan ditengah masyarakat.
Di Dharmasraya, masyarakat sudah cerdas. Mereka lebih tahu membedakan mana berita nan elok dan mana pula berita Hoaks. Meski dipoles, tapi tetap saja luka bisa tercipta dari narasi yang serampangan.
Jembatan Anjolai sudah selesai diperbaiki. Tapi yang tersisa hanya jembatan kepercayaan publik pada media, bila kepercayaan sudah runtuh, siapa yang sanggup untuk menegakkannya. Entah lah, yang pasti memang segitu benar adanya.***
Discussion about this post