Oleh: Dian Istiqomah, Anggota DPR RI 2019-2024
Harga beras yang terus naik dalam beberapa bulan terakhir bukan semata soal stok. Badan Pangan Nasional menargetkan distribusi beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) sebesar 7.000 hingga 9.000 ton per hari.
Namun, realisasi rata-rata masih berkisar 3.000–5.000 ton per hari. Data dari CNBC Indonesia dan Bisnis.com bahkan menyebutkan, per akhir Agustus 2025, distribusi SPHP baru mencapai 70.519 ton atau sekitar 5 persen dari target.
Padahal stok di gudang Bulog menumpuk hingga 3,91 juta ton. Ironinya, stok melimpah itu tidak otomatis hadir di pasar tradisional dan ritel, sehingga masyarakat tetap membeli beras dengan harga tinggi. Di titik inilah terlihat rapuhnya tata kelola pangan nasional—ketersediaan tidak menjamin keterjangkauan bila distribusi tersendat.
Problem serupa juga terjadi di sektor ketenagakerjaan. Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, ditetapkan tersangka kasus dugaan pemerasan sertifikasi K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja).
Modusnya, menurut laporan Antikorupsi.org dan Antara, berupa pengenaan biaya jauh di atas tarif resmi hingga terkumpul dana sekitar Rp81 miliar. Sertifikasi yang seharusnya melindungi pekerja justru berubah menjadi ladang rente.
Memang, data terbaru mengenai kecelakaan kerja belum tersedia secara jelas, tetapi secara umum tren kecelakaan di sektor industri terus menjadi perhatian. Ketika keselamatan kerja masih lemah, praktik korupsi justru merongrong fungsi dasar negara dalam melindungi buruh.
Di saat pangan dan perlindungan tenaga kerja menghadapi masalah, kita menyaksikan kabinet baru yang kian “gemoy”. Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka membentuk struktur dengan 48 menteri dan 55 wakil menteri.
Banyak kementerian dipecah menjadi unit-unit baru, seperti Pendidikan, Hukum, hingga Pekerjaan Umum. Argumentasi resmi memang soal efektivitas, tetapi publik sulit mengabaikan konsekuensi fiskal dari kabinet sebesar itu. Dengan utang negara yang sudah tinggi, ekspansi birokrasi tanpa reformasi kualitas justru berpotensi menambah beban tanpa hasil nyata.
Benang Merah
Tiga potret ini—beras SPHP, sertifikasi K3, dan kabinet gemoy—sebenarnya menyimpan benang merah yang sama: lemahnya tata kelola. Di sektor pangan, hambatan distribusi muncul karena minimnya personel Bulog di daerah, rumitnya akses aplikasi digital bagi pedagang pasar, hingga koordinasi yang belum maksimal dengan pemerintah daerah.
Bukan soal produksi yang gagal, melainkan birokrasi yang macet. Di sektor ketenagakerjaan, perizinan yang harusnya sederhana malah dipersulit, lalu dimonetisasi. Regulasi yang dimaksudkan untuk menyelamatkan nyawa pekerja justru dipelintir menjadi sumber rente.
Di sektor politik, penambahan kursi menteri dan wakil menteri mungkin terlihat gemerlap, tetapi tanpa kejelasan desain kelembagaan, justru berisiko membuat kebijakan semakin tumpang tindih.
Bila ditarik lebih jauh, problem distribusi beras adalah persoalan keadilan akses. Stok besar di gudang Bulog hanya berarti potensi, bukan solusi, bila masyarakat tidak bisa membelinya di pasar tradisional dengan harga terjangkau.
Distribusi pangan membutuhkan rantai yang bersih, transparan, dan tepat sasaran. Hal yang sama berlaku di ranah keselamatan kerja. Regulasi K3 seharusnya memberikan kepastian bagi buruh bahwa mereka dilindungi ketika bekerja di pabrik, tambang, atau proyek konstruksi.
Namun, jika sertifikasinya diperdagangkan secara ilegal, kepercayaan publik runtuh. Sementara itu, dalam ranah politik, janji efisiensi justru kehilangan makna ketika struktur kabinet membengkak. Birokrasi yang gemuk tidak otomatis melahirkan pelayanan publik yang baik—bahkan kerap menambah inefisiensi.
Kritik tanpa tawaran jalan keluar hanya akan berhenti pada keluhan. Dalam persoalan pangan, yang mendesak adalah memperbaiki sistem distribusi. Bulog perlu menambah petugas lapangan dan memberi ruang lebih besar pada pedagang pasar untuk mengakses program SPHP.
Jika aplikasi digital masih menyulitkan, jangan ragu kembali ke mekanisme manual dengan pengawasan ketat. Lebih baik beras cepat sampai ke masyarakat daripada menumpuk di gudang. Pemerintah daerah juga harus dilibatkan penuh, karena pasar tradisional berada di bawah kewenangan mereka.
Dalam isu keselamatan kerja, solusinya jelas: sederhanakan prosedur sertifikasi dan lakukan digitalisasi penuh yang transparan. Sertifikasi K3 seharusnya bisa diakses secara daring dengan biaya resmi, tanpa ruang tawar-menawar.
Lebih dari itu, pengawasan di lapangan harus diperketat. Negara tidak boleh berhenti pada sertifikat di atas kertas, tetapi memastikan perusahaan betul-betul menerapkan standar K3. Lembaga independen bisa dilibatkan untuk mengaudit pelaksanaan, sehingga perlindungan buruh menjadi nyata.
Adapun dalam politik, pembesaran kabinet harus diimbangi dengan indikator kinerja yang jelas. Tidak cukup hanya menambah kursi, melainkan setiap kementerian baru wajib menunjukkan capaian terukur, baik dalam pelayanan publik maupun kontribusi ekonomi.
Dengan beban fiskal yang berat, pemerintah harus berani memangkas pos-pos yang boros. Bila tidak, ekspansi hanya akan menambah utang tanpa manfaat.
Keterpurukan seringkali bermula dari hal yang sepele: distribusi yang tersendat, sertifikasi yang dipermainkan, kabinet yang melebar tanpa arah. Namun bila masalah ini dibiarkan, yang tergerus adalah legitimasi negara.
Pangan bukan sekadar soal logistik, tetapi soal keadilan bagi rakyat kecil. Keselamatan kerja bukan hanya prosedur administratif, tetapi nyawa manusia. Kabinet bukan hanya daftar nama, melainkan cerminan tata kelola yang sehat.
Tantangan ke depan adalah membangun tata kelola yang kokoh—pangan dengan distribusi bersih, tenaga kerja dengan birokrasi berintegritas, fiskal dengan kabinet yang ramping dan efektif. Negara kuat lahir bukan dari janji politik, melainkan dari keberanian membenahi hal-hal teknis yang menyentuh kehidupan rakyat sehari-hari.
Bila beras bisa hadir di pasar dengan harga terjangkau, buruh pulang kerja dengan selamat, dan birokrasi bekerja efisien, barulah kita bisa menyebut tata kelola negara ini sedang bergerak ke arah yang benar.
Red/anr
Discussion about this post