Oleh Syafri Piliang
Wartawan Muda
Padang – Malam itu seperti melukis takdir dalam sebuah pertemuan tak terduga dan tak pula terencana. Di salah satu sudut kinol caffe, tiga sosok yang jejaknya pernah menorehkan warna bagi Sumatera Barat, bertemu. Mereka bukan sekadar tamu waktu, melainkan potret perjalanan Ranah Minang yang ditulis dalam tinta berbeda.
Ada Kaharul Jasmi, wartawan senior, yang tajamnya pena pernah membentuk opini publik. Ada Widya Navies, ketua PWI Sumbar, yang memanggul suara jurnalis di tengah riuh perubahan zaman. Dan ada Jasman Rizal, pejabat yang tenang namun bersahaja, setia menjaga ritme birokrasi di Dharmasraya.
Tiga alur hidup itu menyatu di atas meja bundar, ditemani secangkir kopi yang mengepulkan hangat. Percakapan mereka tak beragenda, tak juga tersusun rapi. Mengalir sebagaimana kopi diseruput perlahan, kadang terasa pahit, kadang ada manisnya, tetapi selalu meninggalkan jejak rasa yang khas ala kopi kekinian.
Mereka berbincang tidak untuk menaklukkan wacana, tidak pula untuk merancang peta kuasa. Justru dalam canda ringan dan jeda hening, terlihat sebuah kerinduan yang sederhana: bersua kembali, meneguhkan silaturahmi, menertawakan masa lalu, dan memaknai perjalanan.
Kopi, malam itu seperti metafora persahabatan, air yang menyatukan biji berbeda, aroma yang memeluk ruang di kesunyian malam tanpa terasa dingin, dan rasa yang bertahan bahkan setelah ke tegukan terakhir.
Di luar kino caffe, Kota padang tetap berdenyut dengan hiruk pikuk kendaraan yang berlalu lalang. Namun di meja kecil itu, waktu seolah berhenti. Tiga nama besar Minangkabau tidak sedang tampil sebagai tokoh. Mereka hanya manusia yang merawat pertemanan, sebagaimana merawat secangkir kopi yang tak ingin segera habis.***
Discussion about this post