Oleh Syafri Piliang
Wartawan Muda
Dharmasraya – Masih tergiang- ngiang ditelinga saya ketika di ruang redaksi SKh Singgalang yang penuh hentakan suara ketikan, berpaduan dengan aroma kopi hitam, seorang wartawan senior Khairul Jasmi pernah berucap lirih namun tajam, “Kita jangan berlagak sok hebat dan sok mantap. Karena pekerjaan jurnalis ini pekerjaan yang sangat mulia.”ujarnya sembari berkelakar.
Kalimat itu terdengar sederhana dari pimpinan redaksi. Namun bagi telinga yang peka, ia adalah cambuk. Di balik gegap-gempita berita yang berlomba ditayangkan, tersimpan pesan sunyi, jurnalisme bukan panggung keangkuhan, melainkan jalan pengabdian.
Bagi sebagian orang, profesi wartawan mungkin identik dengan sorotan kamera, nama terpampang di halaman depan, atau akses menuju ruang-ruang elit kekuasaan.
Tetapi sesungguhnya, inti dari jurnalisme tidak pernah berubah, menyuarakan yang tak terdengar, menyalakan terang di ruang-ruang gelap, dan menghadirkan kebenaran di hadapan publik agar pembaca tak salah paham.
Sejarah telah mencatat, tinta wartawan kerap menjadi saksi dan pengawal bangsa. Dari era pergerakan, ketika surat kabar menjadi alat perjuangan, hingga kini ketika jurnalis dituntut kritis di tengah derasnya arus informasi digital saat ini.Tapi dalam setiap zaman, satu hal tetap abadi yakni kerendahan hati lebih ampuh segalanya.
Seorang wartawan, betapa pun luas jejaring dan pengaruhnya, bukanlah bintang utama dalam cerita. Ia hanyalah jembatan antara fakta dan masyarakat, antara suara rakyat dan ruang kekuasaan dan bukan berarti sebaliknya.
Wartawan yang pongah, yang menjadikan profesinya panggung pribadi, sesungguhnya telah melupakan inti dari profesi ini melayani kebenaran, bukan melayani ego.
Maka, ucapan sang suhu yang sudah banyak memakan asam garam didunia wartawan, seperti penuntun jalan. Pekerjaan jurnalis terlalu mulia untuk dikerdilkan oleh sikap sok hebat.
Dan terlalu luhur untuk dijadikan topeng arogansi. Karena setiap berita yang lahir dari kerendahan hati, akan memancarkan wibawa yang lebih abadi dari pada hanya sekadar mencari sensasi semata.
Ingatlah suatu hal jangan jadikan apa yang kita tulis itu sebagai bumerang bagi diri kita sendiri atau orang lain.Tapi jadikanlah yang kita buat menjadi tulisan itu, sebagai penyejuk dan bermakna yang dibungkus dengan narasi nan elok untuk disajikan ke publik.
Akhir dari itu, jurnalisme bukan soal siapa yang paling cepat atau paling lantang dan pintar. Melainkan siapa yang paling setia menjaga nurani, dan tidak mengabaikan kaedah – kaedah jurnalis serta etika dan kode etik jurnalistik.***
Discussion about this post