Oleh Syafri Piliang
Wartawan Muda
Pulau Punjung – Senen sore 18 Agustus 2025 cuaca terlihat agak sedikit menyengat, sontak berubah menjadi panggung raksasa. Jalan lintas yang biasa dipenuhi deru kendaraan kini menjelma lorong sejarah. Dari arah masjid Babbusalam ratusan anak bangsa berjalan berbaris menuju panggung kehormatan.
Di tangan para perserta tampak dipengang poster-poster pahlawan Nasional terangkat: wajah Soedirman yang renta tapi teguh, Kartini dengan sorot mata menembus zaman, hingga Bung Karno yang menggelorakan kemerdekaan.
Di panggung kehormatan, dua srikandi negeri duduk memperhatikan. Setiap langkah anak-anak itu seolah membawa pesan: “Pahlawan Ku, Pahlawan Kita Semua.
Ini, bukan sekadar tema pawai alegoris HUT RI ke-80, melainkan gema yang menyatukan jarak delapan dekade Indonesia merdeka, sejak terlepas dari belenggu penjajahan.
Ribuan warga tumpah ruah ke jalan, berdesakan di trotoar. Mereka bersorak ketika bocah-bocah berseragam pejuang menirukan gaya heroik dengan tingkah bak jenaka.
Ada yang tertawa lepas, ada pula yang diam-diam menyeka mata saat lagu perjuangan membahana dari pengeras suara. Seakan sejarah tak hanya dibaca dari buku, melainkan hadir nyata di depan mata.
Bagi Dharmasraya, pawai ini bukan sekadar agenda tahunan. Ia menjadi ruang perjumpaan antara ingatan kolektif dan keceriaan masa kini. Dari anak usia dini hingga siswa SMA, semua larut dalam parade yang menjahit ulang kisah republik.
Seorang lelaki tua Bahrudin 76 tahun di tepi jalan menatap barisan itu dengan mata berkaca. “Mereka kecil-kecil, tapi di pundak merekalah republik ini akan berdiri kelak” katanya lirih.
Di bumi anyar itu, kemerdekaan tidak hanya diperingati dengan upacara. Ia dihidupkan dalam langkah-langkah kecil, tawa anak-anak, dan sorak warga yang berjubel di sepanjang jalan.
Pawai alegoris Dharmasraya menjadi penanda: kemerdekaan bukan monumen beku, melainkan denyut yang terus diwariskan dari para pahlawan, untuk kita semua.***
Discussion about this post