Dharmasraya – Tandan buah segar (TBS) yang dipanen penuh peluh, kini malah menyisakan air mata di ujung timbangan pabrik. Para petani sawit menjerit lirih, ketika jerih payah yang diangkut truk-ton demi ton, dipotong seenaknya dengan dalih “sampah dan tanah.”
“Kami bukan pencuri timbangan, hanya menuntut keadilan dari setiap butir keringat,” ujar Jhon Nasri, Sekretaris Apkasindo Sumbar, saat menyampaikan suara getir para petani sawit yang semakin tercekik oleh kebijakan sepihak yang dilakukan oleh perusahaan pada Kamis (6/08/2025) saat berada di Nagari Sikabau ,Kecamatan Pulau – Punjung
Potongan 5 hingga 10 persen dari total berat TBS di lapangan adalah luka dalam yang terus menganga. Pabrik berdalih, TBS kotor, mengandung pasir dan tanah. Padahal petani hanya minta toleransi maksimal 1,5 persen, sebuah angka yang bisa ditawar dengan nurani, bukan dengan serakahnya kalkulasi bisnis.
Mari kita hitung: satu truk memuat 8–10 ton TBS. Harga pasar Rp 3.000/kg. Jika dipotong 5%, maka sekitar Rp 1,5 juta hilang dari satu muatan. Dikalikan ratusan truk per hari, maka pabrik telah “merampok legal” puluhan hingga ratusan juta rupiah dari kantong petani.
Pencurian berselimut prosedur. Kejahatan berbungkus kwitansi.
Yang lebih ironisnya ada pabrik tanpa kebun justru lebih galak lagi memotong. Padahal mereka tak menanam, tak menyemai, tak menyabit, tapi ikut menenggak manisnya hasil petani.Modal mesin, tanpa lahan, tapi rakus hingga akar-akarnya.Bayangkan pabrik kapasitas 60 ton/jam, dengan kebutuhan 1.200 ton per hari. Jika potongan 5% benar terjadi, maka 60 ton buah sawit “hilang” setiap harinya. Sementara Rp 180 juta per hari pun lenyap dari tangan petani masuk ke dalam laci perusahaan.
Menyikapi fenomena yang sedang terjadi saat ini, praktisi hukum Tibrani, SH juga sebagai ketua lembaga Pos Bantuan Hukum Advokad Indonesia Cabang Dharmasraya. Katanya untuk memastikan hal itu, ia menyarankan pembentukan tim uji petik independen oleh pemda dan melibatkan Apkasindo, dinasterkait
,“Supaya setiap angka yang dipotong bisa diuji, dan setiap kecurigaan bisa diuji secara ilmiah, bukan sekadar alasan sepihak dari pabrik,” tambahnya.
Dilain sisi saat ini negara memproklamasikan kemerdekaan, para petani adalah tulang punggung bangsa. Tapi kini, mereka harus berjuang sendiri melawan ketidakadilan dalam sistem distribusi yang timpang.
TBS itu bukan sekadar buah sawit , itu darah, keringat, dan harapan. Namun, jika petani terus dirugikan tanpa perlindungan, maka kita sedang menggali kubur bagi masa depan ketahanan pangan dan keadilan agraria. SP.
Discussion about this post