Oleh Syafri Piliang.
Wartawan Muda
Dharmasraya — 17 Agustus 2025 kembali menyapa untuk mengenang jasa para pahlawan. Karena setiap jengkal tanah yang pernah direbut dengan darah dan doa, merah-putih berkibar tak hanya di tiang-tiang, tapi juga di dada warga Bumi Anyar. Di balik semarak lomba dan riuh persiapan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke- 80, terselip kisah kecil dari sumbangan-sumbangan yang mengalir dari 52 nagari dan 11 kecamatan. Sumbangan dari kita, oleh kita, untuk merdeka yang masih terus kita jaga bersama sampai hari ini.
Ini bukan menyoal soal besar atau kecilnya angka. Bukan pula tentang siapa yang memberi lebih banyak.Tapi tentang suara nurani yang tergerak. Sebentuk partisipasi sukarela, bukan paksaan berwujud pungli. Bila uang menjadi medium untuk mengenang, biarlah ia mengalir sebagai lambang cinta, bukan sekadar kewajiban sosial yang berbungkus malu atau takut.
“Kita tidak bisa membayangkan bagaimana getirnya perjuangan di masa silam,” ujar H. Zulfikar.Dt Penghulu Bosou yang juga salah seorang tokoh masyarakat. “Darah ditumpahkan, nyawa dipertaruhkan melawan penjajah dari bumi pertiwi ini. Maka, ketika kita menyumbang, itu bukan karena kaya. Tapi karena tidak ingin terlupa dengan kerasnya perjuagan dimasa lalu,” lirihnya yang disebut sebagai salah seorang sosok tokoh yang peduli.
Namun sayangnya, disisi lain masih ada juga terlintas dari sebahagian yang salah mengerti. Ketika kontribusi dimaknai sebagai kewajiban mutlak, atau disusupi oleh niat yang tak sejalan dengan semangat kemerdekaan. Pemerintah hanya mampu mengimbau, mengajak, mengetuk hati, agar masyarakat melihat bahwa peringatan kemerdekaan adalah momentum jiwa, bukan formalitas tahunan.
Dan sampai hari ini, hasil dari perjuangan para pahlawan telah kita nikmati: sekolah yang berdiri megah, pasar yang hidup, akses jalan, dan udara bebas yang tak lagi dicemari deru laras bedil. Maka, bila kita memberi sumbangan, walau hanya recehan, itu adalah doa kecil untuk para pejuang yang telah tiada, dan janji untuk tetap menjaga apa yang telah mereka menangkan.
Di bumi yang dulu terbungkam oleh sepatu lars, kini merdeka bernyanyi lewat tangan-tangan dingin warga yang rela menyingsingkan lengan baju. Dan di sana, merdeka hidup bukan dari kata-kata, tapi dari semangat berbagi tanpa pamrih.
Karena sesungguhnya, merdeka adalah ketika memberi menjadi kebiasaan, ingat atas jasa perjuangan bagi pata pahlawan yang berguguran jatuh bak seperti bunga ditaman dan tidak hanya sekadar selebrasi, tetapi untuk menguji prilaku di setiap kita sehari-hari yang terlewati oleh waktu yang terus bergulir tanpa henti. ****
Discussion about this post