Oleh Syafri Piliang
Wartawan Muda
Dharmasraya – Di tengah hamparan rumput lapangan Tuanku Kerajaan Sungai Rumbai, dalam final satu gol telah mengukir sejarah. Suku Piliang, dengan semangat membara dan strategi matang, berhasil menundukkan Suku Caniago pada menit pertama pertandingan. Satu gol itu tak sekadar angka, tapi ia menjadi jembatan emosional yang mengantarkan mereka meraih piala bergilir persembahan Pemuda Nagari Sungai Rumbai Sabtu (2/08/2025) .
Turnamen antar suku ini bukan sekadar perayaan olahraga. Di balik sorak dan tepuk tangan, terselip semangat yang lebih agung—semangat menyatukan tujuh suku dalam satu irama silaturahmi. Suku-suku yang selama ini berdampingan dalam adat dan budaya, kini dipertemukan dalam laga yang mengedepankan sportivitas, solidaritas, dan pencarian jati diri di lapangan hijau.
Piala Bergilir, Tapi Semangat Harus Tetap Menetap
“Piala bisa berganti tangan, tapi semangat jangan sampai padam,” ujar Nasrul Djalal.Dt Bandaro Mudo penghulu kaum suku piliang. Hal ini menggambarkan sebuah makna tersirat dibalik kegiatan ini. Turnamen ini tak hanya soal siapa yang menang atau kalah, tetapi tentang siapa yang mampu menjaga semangat kebersamaan di tengah perbedaan asal dan darah adat.
Kegiatan ini menjadi bagian dari rangkaian penyambutan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-80, saat tanah air memanggil anak-anak negerinya untuk kembali bersatu, berinovasi, dan tak lupa pada akar budaya.
Mencari Bibit Unggul,Menyemai Harapan Baru Untuk Perubahan
Di balik taktik permainan dan sorotan matahari sore, ada misi yang lebih dalam: mencari bibit unggul dari setiap suku. Generasi baru dengan kemampuan olah bola yang mumpuni bukan hanya akan menjadi pemain di turnamen lokal, tapi semoga bisa menjelma menjadi atlet kebanggaan daerah ini.
Para pemuda bukan hanya berlari mengejar bola, mereka berlari mengejar masa depan—masa depan yang disokong penuh oleh ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai, bundo kanduang, serta para tokoh adat yang menyaksikan dengan mata berkaca dan hati bangga.
Sungai Rumbai Menjadi Saksi: Tradisi dan Sepak Bola Tak Lagi Jauh
Turnamen ini menghapus sekat antara tradisi dan olahraga. Di sini, lapangan menjadi surau, bola menjadi simbol niat baik, dan wasit menjadi penjaga nilai-nilai luhur. Bahkan kekalahan pun ditelan dengan senyum, karena semua paham: ini bukan perang antar suku, tapi pesta silaturahmi yang ditaburi peluh dan semangat gotong royong,” ucap ketua pemuda nagari sungai rumbai Toprizal.
Satu gol Suku Piliang memang menentukan, tapi semua suku yang ikut bertanding adalah pemenang dalam semangat. Sebab yang utama bukan soal siapa yang angkat piala, tapi siapa yang mampu menjaga bara kebersamaan supaya tetap menyala demi untuk kebersamaan.****
Discussion about this post