Oleh Syafri Piliang
Wartawan Muda
Dharmasraya – Pengangkatan pejabat Sekretaris Daerah (Sekda) oleh kepala daerah selalu menjadi bahan sorotan, baik dari sisi politik maupun psikologis masyarakat dan terutama bagi kalangan biokrasi.
Di daerah-daerah yang kental dengan nilai kedaerahan seperti Dharmasraya, muncul pertanyaan yang berulang setiap kali kursi Sekda berganti, mengapa bukan putra daerah sendiri yang diberi amanah..?
Publik bereaksi wajar. Mereka melihat banyak ASN lokal yang sudah mengabdi puluhan tahun, memahami adat dan kultur nagari, dan memiliki kedekatan emosional dengan warga. Bagi masyarakat, mengangkat putra daerah adalah bentuk penghormatan pada akar, identitas, dan keberpihakan lokal.
Namun, di balik harapan itu, realita tak selalu hitam – putih yang tampak di permukaan. Ada sisi lain yang tidak ramai dibicarakan, bahkan cenderung sunyi dalam diam. Beberapa sumber di lingkaran birokrasi menyebut, ada catatan internal yang tak bisa diabaikan.
Diduga, salah satu kandidat dari putra daerah memiliki jejak administratif yang belum selesai hingga saat ini yaitu dugaan temuan dari BPK di masa lalu yang meski tak ramai disorot publik, tetap tercatat dan menjadi pertimbangan serius di internal pemerintahan yang sedang berkuasa.
Kepala daerah, dalam posisi ini, menghadapi dilema antara mendengarkan suara publik yang ingin melihat wajah lokal di posisi strategis, atau menjaga integritas pemerintahan dengan menghindari risiko dari figur yang memiliki potensi masalah hukum administratif.
Namun hal ini bisa jadi, pilihan jatuh kepada sosok luar karena dianggap lebih steril, tak punya beban masa lalu, dan mampu bekerja cepat dalam sistem yang menuntut efisiensi dan profesionalitas dengan harapan dapat membawa perubahan baru di kepemimpinan era Annisa dan Leli.
Ini bukan perkara suka atau tidak suka pada anak nagari. Ini soal keputusan yang mungkin dibungkam oleh etika birokrasi, tetapi menyimpan pertimbangan serta pengkajian serius. Ketika kepala daerah memilih diam dan tak menjelaskan secara terbuka alasan pengangkatan, ruang spekulasi pun mengembang, dan itu tidak tertutup kemungkinan publik bebas menafsirkan dengan logikanya masing-masing.
Karena itu, penting bagi kepala daerah untuk membangun komunikasi publik yang lebih terbuka dan cerdas. Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa setiap keputusan strategis dalam birokrasi selalu melewati pertimbangan yang serba kompleks hukum, integritas, kredibilitas, dan kebutuhan manajemen resiko.
Di sisi lain, ini juga menjadi pelajaran penting bagi ASN lokal—bahwa untuk bisa duduk di kursi strategis, tidak cukup hanya dengan status sebagai putra daerah. Jejak rekam harus bersih, kompetensi harus unggul, dan integritas harus tak terbantahkan.
Sekda memang jabatan teknokratik. Tapi keputusan siapa yang mengisinya, selalu menyimpan gema politik dan sosial yang tak kecil. Maka jangan biarkan kebijakan ini membeku dalam ruang hening birokrasi. Saatnya membuka ruang penjelasan, agar publik tidak hanya tahu “siapa yang terpilih”, tapi juga “mengapa yang lain tidak dipilih..? tentu jawabannya ada di kita.
Publik tentu tahu bahwa pengangkatan pejabat Sekretaris Daerah (Sekda) selalu menjadi momen krusial dalam menjalankan roda pemerintahan di tingkat kabupaten. Ia bukan hanya sekadar jabatan administratif tertinggi di daerah, tetapi ini juga salah satu kunci dalam menggerakkan mesin birokrasi.
Selain itu juga untuk menyambung komunikasi antara kepala daerah dan ASN, serta memastikan arah kebijakan berjalan efektif dan mengacu kepada visi dan misi kepala daerah ” Dharmasraya Sejahtera Merata”. Namun, tak jarang keputusan ini menimbulkan riak di tengah masyarakat, apalagi bila yang diangkat bukanlah putra daerah.
Begitulah yang kini dirasakan oleh sebagian masyarakat Dharmasraya, ketika posisi Sekda yang begitu strategis tidak dipercayakan kepada figur lokal. “Kenapa bukan orang sini?” adalah pertanyaan umum yang menyelimuti ruang publik.Dan menjadi ciloteh hangat di warung kopi, dalam forum nagari, hingga komentar – komentar berseliweran di media sosial, kegelisahan itu begitu nyata adanya.
Namun, tentu tak bisa dimungkiri bahwa di balik keputusan itu bisa saja terdapat alasan yang lebih strategis. Misalnya, kepala daerah mungkin hendak mencari sosok yang dinilai netral dari tarik menarik kepentingan lokal, memiliki rekam jejak lebih bersih di mata lembaga audit seperti BPK.
Atau ia lebih dianggap mampu untuk menjembatani reformasi birokrasi yang lebih cepat dan tegas. Bahkan dalam sejumlah kasus, keputusan itu juga bisa merupakan bagian dari manuver politik yang lebih besar, konsolidasi kekuasaan, menata loyalitas birokrasi, atau menjaga keseimbangan antar kelompok elite.Tetapi pertanyaan paling mengganjal tetap menggantung.****
Discussion about this post