Oleh: Syafri Piliang
Wartawan Muda
Dharmasraya – Setiap kali langit Dharmasraya menangis, Jembatan Kembar yang melintasi Sungai Batanghari ikut meratap dalam diam, tenggelam oleh kelalaian. Bukan karena usianya yang renta, bukan pula karena derasnya air sungai yang mengamuk, tapi karena air hujan yang tak tahu ke mana harus pulang. Di bawah lengkung besi dan beton yang menjulang, genangan muncul seperti tamu tanpa diundang, menutupi sisi pakal kiri dan kanan jembatan, ini luka yang tak kunjung sembuh.
Jembatan itu sejatinya simbol penghubung, menjembatani harapan antara dua daratan. Tapi apa arti jembatan jika setiap hujan justru malah menjadi pemisah..? Jika air menggenang dan kendaraan tertatih menembus banjir buatan, siapa yang patut disalahkan..?
Semua mata seolah tertuju pada satu titik persoalan: saluran air yang terlalu kecil untuk menampung derasnya air, terlalu sempit untuk ukuran perencanaan yang katanya sih “standar nasional”. Seakan dilupakan bahwa bukan hanya jembatan yang harus kuat, tapi juga tanah di sekelilingnya harus bebas dari genangan air. Tapi itulah ironisnya pembangunan didaerah kita , namum terlihat megah di mata, tapi rapuh di dasar logika akal sehat manusia yang tiap detik berlalu – lalang di jembatan bernilai miliyaran rupiah itu.
Meski keluhan telah berulang kali disampaikan oleh Dinas PUPR Dharmasraya, pihak Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (PJN) Wilayah V Sumatera Barat memilih bungkam, seperti telinga yang sudah lelah mendengar. “Sudah kami sampaikan, tapi entah mengapa tak kunjung ditindak,” ujar salah satu pejabat PUPR yang enggan disebutkan namanya.
Senin beranjak siang 14 Juli 2025, sontak hujan turun. Di bawah rinai yang lembut namun menyakitkan, Bupati Dharmasraya, Annisa Suci Ramadhani, turun langsung menyaksikan sendiri kenyataan pahit itu. Sepatu bupati yang menginjak genangan bukan hanya simbol empati, tapi tamparan bagi mereka yang masih duduk nyaman di ruang kantor menghindari becek dan tanggung jawab.
Dan suara warga pun tak lagi bisa dibungkam. Syahril 71 tahun yang sudah banyak makan asam dan garam kehidupan. Ia juga salah satu tokoh masyarakat Pulau Punjung yang rumahnya persis di pangkal jembatan, angkat bicara dengan nada prihatin dan peduli.
“Jika kondisi pangkal jembatan ini terus digenangi air setiap hujan turun, kita khawatir lama kelamaan jembatan terancam ambruk,” tukas Syahril.
“Ini bukan hanya soal kenyamanan, tapi soal keselamatan.”
Jembatan kembar itu kini tak sekadar dilewati kendaraan, tapi juga keluhan. Ia menjadi saksi bisu dari sebuah sistem yang pincang. Pembangunan fisik ada, tapi jiwa tanggung jawab seakan tak ikut dibangun. Drainase yang buruk adalah lubang kecil yang melahirkan bencana besar — bukan hanya untuk jalan, tapi untuk kepercayaan publik.
Masyarakat sudah bosan. Banjir bukan lagi berita baru, tapi luka lama yang terus dibuka. Dan jika pembangunan terus mengabaikan detail kecil seperti saluran air, maka bukan mustahil suatu hari jembatan itu bukan lagi penghubung harapan, melainkan monumen kegagalan.
Di bawah jembatan yang megah, mengalir air dan ketidakpedulian. Di antara tiang-tiang beton, terkurung suara-suara yang tak digubris.Dan di setiap hujan yang turun, bergenanglah bukan hanya air, tapi janji yang tak ditepati, dan tanggung jawab yang dibiarkan hanyut menyelusuri likuk sungai tua yang mengular hingga ke Provinsi Jambi.****
Discussion about this post