JAKARTA — Dugaan praktik prostitusi terselubung yang beroperasi di Comfort Spa, sebuah tempat pijat yang terletak di Sentra Latumenten No. 7, Jelambar Baru, Jakarta Barat, kembali mencuat ke permukaan. Kali ini, sorotan datang dari kalangan akademisi dan pengamat kebijakan publik, yang menilai penanganan aparat terhadap laporan masyarakat lebih berbau formalitas ketimbang tindakan nyata.
Kepala Suku Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Jakarta Barat, Dedi Sumardi, terkesan enggan berbicara lebih lanjut ketika dimintai tanggapan atas temuan ini. Dedi hanya menyebutkan bahwa pihaknya telah menindaklanjuti pemberitaan yang beredar, namun tak bersedia mengungkapkan hasil pemeriksaan secara detil.
“Kami sudah perintahkan Kasi Pengawasan bersama Satpol PP untuk menindaklanjuti, tapi saya belum menerima laporan secara lengkap,” ujar Dedi dalam keterangannya, Selasa (17/6/2025).
Namun, meski telah melakukan pemeriksaan terkait izin dasar dan operasional, Dedi tidak membeberkan rincian lebih lanjut mengenai bukti-bukti yang beredar, seperti foto-foto wanita setengah telanjang yang sempat viral di kalangan wartawan. Ketertutupan ini jelas menambah kecurigaan bahwa penanganan dugaan praktik prostitusi di Comfort Spa hanya dilakukan sebagai langkah formalitas tanpa adanya penyelidikan lebih mendalam.
Sikap yang ambigu ini menimbulkan pertanyaan besar. Sejauh mana pemerintah benar-benar serius dalam mengawasi dan menertibkan tempat hiburan yang jelas-jelas melanggar izin operasional? Jika dugaan prostitusi tersebut terbukti, Comfort Spa telah melanggar beberapa peraturan daerah yang seharusnya menjadi dasar penindakan tegas.
Aturan yang dilanggar mencakup Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, yang dengan jelas melarang prostitusi, serta Pergub No. 18 Tahun 2018, yang mengatur bahwa tempat spa hanya boleh menyediakan layanan relaksasi dan kesehatan, bukan praktik yang justru menjurus pada kegiatan asusila.
Awy Eziary, S.H., S.E., M.M., akademisi sekaligus pengamat kebijakan publik, dengan tegas menyatakan kekecewaannya terhadap kinerja aparat yang menurutnya tidak serius menangani laporan masyarakat tentang praktik prostitusi terselubung tersebut.
“Kami menduga tindakan aparat hanya sebatas formalitas untuk menggugurkan kewajiban mereka. Tidak ada transparansi, tidak ada investigasi yang menyeluruh. Jika memang berniat bersih, seharusnya aparat melibatkan media dan masyarakat dalam proses pemeriksaan,” ujar Awy pada Jumat (20/6/2025).
Lebih lanjut, Awy juga mencurigai adanya potensi ‘kongkalikong’ antara pemilik Comfort Spa dan sejumlah oknum petugas yang mengakibatkan pembiaran terhadap praktik ilegal ini. Dia mendesak aparat berwenang untuk berhenti hanya melakukan tindakan simbolis, dan mulai mengambil langkah tegas dengan transparansi yang jelas.
Investigasi yang dilakukan oleh tim wartawan mengungkap bahwa Comfort Spa, melalui sistem pemesanan yang rapi dan terselubung, ternyata menawarkan layanan seksual dengan harga yang bervariasi mulai dari Rp1.100.000 hingga Rp1.550.000 untuk durasi 90 hingga 120 menit. Pelanggan yang ingin menggunakan jasa “terapis” bisa memilih langsung dari daftar foto yang dikirimkan lewat aplikasi pesan instan. Paket-paket layanan yang ditawarkan, antara lain, termasuk opsi threesome, body to body, hingga layanan seks penuh.
Lebih mencurigakan lagi, biaya layanan tersebut sudah termasuk “room charge” atau biaya kamar yang tidak lazim dikenakan pada tempat usaha pijat yang murni berfokus pada kesehatan dan relaksasi.
“Saya rasa jika memang ini adalah spa kesehatan, kenapa ada kategori kamar VIP hingga VVIP? Itu jelas tanda adanya kemasan legal untuk praktik prostitusi,” ujar seorang narasumber yang bekerja di sekitar ruko tersebut, yang memilih untuk tidak disebutkan identitasnya.
Kasus ini semakin memperlihatkan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah dan aparat terkait. Bahkan, banyak kalangan yang mulai mempercayai bahwa pelanggaran semacam ini justru dilindungi oleh permainan oknum-oknum pejabat yang tidak serius dalam menindaklanjuti laporan masyarakat.
“Ini bukan hanya soal pelanggaran moral, tapi juga ancaman serius terhadap kesehatan masyarakat dan ketertiban sosial. Jika dibiarkan terus, hukum hanya akan jadi alat formalitas belaka,” tegas Awy.
Kini, sorotan besar tertuju pada Pemprov DKI Jakarta, Satpol PP, dan kepolisian untuk mengambil langkah tegas dalam menangani praktik prostitusi terselubung di Comfort Spa. Masyarakat pun menuntut tindakan nyata dan bukan hanya inspeksi tanpa hasil yang hanya menghabiskan waktu.*
Red/amr
Discussion about this post