Dharmasraya – Fakta mencengangkan publik di tengah harapan terhadap perubahan dan perbaikan nasib rakyat, justru sebuah kebijakan mengejutkan dari pemerintahan yang dipimpin oleh Srikandi pertama di Provinsi Sumbar ini.
Dimana orang nomor wahid di daerah ini penentu kebijakan di Dharmasraya, tengah melakukan upaya untuk melegalkan tambang ilegal. Kebijakan ini, meskipun disebut sebagai langkah “regulasi”, menyimpan potensi dampak besar yang bisa mengguncang keseimbangan alam dan lingkungan hidup, terutama sekali di negeri nan antah berantah ini.
Dari ilegal menjadi legal, siapa yang untung, siapa pula yang buntung? Entahlah.
Wacana legalisasi tambang ilegal oleh Pemkab Dharmasraya dinilai sebagai jalan tengah antara penegakan hukum dan realitas ekonomi di lapangan.
Sedikitnya, ratusan penambang rakyat yang bekerja di sektor informal berharap mendapat legitimasi. Namun, di sisi lain, langkah ini bisa membuka celah baru bagi eksploitasi yang akan berdampak lebih luas lagi seperti tak terkendali.
Dampak lingkungan yang tak bisa diabaikan begitu saja, dapat menimbulkan kerusakan ekosistem melegalkan aktivitas yang sebelumnya tak terkendali, justru bisa mempercepat kerusakan hutan, sungai dan tanah.
Habitat satwa liar bisa terancam dan dikhawatirkan diambang kepunahan.
Sejak tambang ilegal yang ada di perairan sungai ataupun di daratan, memang berdampak serius terhadap ekosistem dan kehidupan masyarakat.
Kini, Pemkab Dharmasraya harus mengambil langkah tegas dan strategis terkait dengan hal tersebut.
Sementara itu, para penegakan hukum yang tegas memberikan berupa sanksi hukum bagi para pelaku tambang ilegal, dan termasuk penegakan Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 yakni tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH.Pasal 69 ayat (1) huruf a:
“Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.”
“Jika dijalankan Undang- undang ini menjadi dasar hukum utama untuk menindak dan menjerat para pelaku tambang ilegal yang merusak lingkungan, termasuk ekosistem sungai. Sebagai pemimpin baru harus menunjukkan komitmen nyata dan keberanian politik agar langkah-langkah ini benar-benar berdampak.
Seperti dikutip dari sumber berita realease Dharmasraya dalam Kunker Bupati Dharmasraya, Annisa Suci Ramadhani dengan Dinas ESDM Kamis (15/5/2025) di Padang, ia menyatakan komitmennya untuk mendorong legalisasi tambang rakyat di wilayahnya melalui pengusulan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
Komitmen ini disampaikan saat kunjungan kerja ke Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sumatera Barat, di Padang, (15/05/2025), menyusul maraknya aktivitas penambangan tanpa izin (PETI) di Dharmasraya.
Dalam pertemuan tersebut, Bupati Annisa menyoroti semakin masifnya aktivitas tambang liar, yang tidak hanya merusak lingkungan, tapi juga membahayakan keselamatan warga dan menciptakan potensi konflik sosial.
Dia menekankan pentingnya pendekatan yang solutif dan berbasis regulasi untuk mengatasi persoalan tersebut.
Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, kewenangan pengelolaan pertambangan berada di tangan pemerintah provinsi dan pusat. Hal ini menyebabkan pemerintah kabupaten/kota tidak lagi memiliki kuasa langsung untuk menertibkan tambang ilegal, meskipun dampaknya paling dirasakan di tingkat lokal.
Bupati Annisa mengakui bahwa kondisi ini menjadi tantangan serius bagi daerah, terutama dalam menjaga keseimbangan antara perlindungan lingkungan dan kebutuhan ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidup pada aktivitas pertambangan. Oleh karena itu, ia meminta masukan dan arahan dari Dinas ESDM agar Pemkab Dharmasraya tetap dapat memainkan peran aktif secara strategis.
Menanggapi hal tersebut, Dinas ESDM Sumbar menyarankan, agar Pemkab Dharmasraya segera mengusulkan pembentukan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Usulan ini dinilai sebagai solusi legal yang memungkinkan penataan aktivitas tambang rakyat agar lebih tertib dan berkelanjutan.
Dinas ESDM menyebutkan, bahwa saat ini sudah ada tujuh kabupaten/kota di Sumatera Barat yang mengajukan WPR, namun Dharmasraya masih belum termasuk di antaranya.
Oleh karena itu, ESDM mendorong agar Pemkab segera menyusun dokumen usulan WPR sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam kesempatan yang sama, Dinas ESDM juga menyatakan kesiapannya untuk memberikan asistensi teknis kepada Pemerintah Kabupaten Dharmasraya. Dukungan ini mencakup pendampingan dalam proses penyusunan dokumen serta pemetaan wilayah yang memenuhi syarat sebagai WPR.
Dengan adanya pengusulan WPR, diharapkan aktivitas pertambangan rakyat di Dharmasraya dapat berjalan secara legal, tertib, dan ramah lingkungan.
Selain itu, upaya ini juga menjadi wujud nyata keberpihakan pemerintah daerah terhadap kepentingan masyarakat tanpa mengabaikan aspek keberlanjutan dan keselamatan publik.
Namun hal yang penting apakah legalisasi tambang ilegal adalah satu-satunya solusi bagi pemerintah daerah? Jawabannya tentu jelas tidak.
Sebab, legalisasi bisa jadi salah satu jalan, tetapi bukan satu-satunya dan bukan pula yang terbaik jika tidak disertai syarat-syarat ketat.
Di sisi lain penertiban dan pembinaan tambang rakyat, Pemkab bisa mendata dan membina tambang rakyat agar memenuhi syarat teknis dan lingkungan.
Ini berbeda dengan sekadar “melegalkan tambang ilegal” pendekatan ini memberi pelatihan, bantuan teknis, dan pengawasan agar tambang jadi legal dan berkelanjutan.
Tentunya Pemda melakukan moratorium serta mengevaluasi izin tambang ketimbang melegalkan. Semisal menetapkan moratorium (penghentian sementara) untuk mengevaluasi semua kegiatan tambang. Tujuannya adalah membersihkan praktik tambang yang tidak sesuai dan memperbaiki tata kelola.
Bila perlu, diperhitungkan mana besar manfaatnya, ketimbang mudaratnya. Ingat, kelestarian alam dan lingkungan adalah investasi elok bagi anak cucu di kemudian hari.
Di samping itu, jika alam murka lantaran tidak dijaga alias dirusak, tentu musibah dan bencana silih berganti dirasakan rakyat nantinya. Ironisnya lagi, biaya atau anggaran perbaikan atas kerusakan alam karena bencana, jelas memakan ongkos yang lebih mahal. Untuk itu, ini mesti dipertimbangkan dan direnungkan bersama. Salah mengambil langkah, tentu jalannya salah. Kalau sudah salah, maka sulit untuk diubah menjadi benar.
Terlebih lagi, karena hidup merupakan pilihan, banyak penambang ilegal beralih ke tambang karena minimnya pilihan ekonomi. Pemda bisa mengembangkan ekowisata, pertanian berkelanjutan, atau UMKM sebagai alternatif lapangan kerja yang lebih ramah lingkungan, guna menguatkan ekonomi rakyat.
Dengan kodisi tersebut, para penegak hukum yang ada dinegeri ini harus adil dan tegas jika benar melegalkan tambang ilegal, penegakan hukum perlu diperkuat. Dan bukan hanya mengejar penambang kecil saja , tapi juga menangkap penambang besar yang merusak lingkungan tanpa izin atau dengan izin yang disalahgunakan. Pemda dan polri harus berkalaborasi dengan LSM dan Komunitas Lokal lainnya.
Pemda dapat menggandeng organisasi masyarakat sipil, universitas, dan komunitas adat untuk bersama-sama merumuskan kebijakan tambang yang berpihak pada lingkungan dan masyarakat.
Intinya, legalisasi tambang ilegal adalah jalan pintas, tapi bukan satu-satunya jalan. Solusi sejati membutuhkan pendekatan jangka panjang dan bukan jangka pemdek dan ini bukan moto pengadaian ” mengatasi masalah tanpa masalah,” begitu juga sebaliknya.
Pemda juga harus bijak mempertimbangkan soal regulasi, edukasi, perlindungan lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat. Jika tidak demikian yang akan terjadi nantinya malah kerusakan yang lebih parah lagi. Nah yang menjadi tanda tanya siapa yang akan menanggung beban ini…? tentulah generasi yang akan datang.*
Discussion about this post