Jakarta — Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendes PDT), di bawah naungan Menteri Yandri Susanto sepertinya tidak pernah berhenti berpolemik, selalu menarik perhatian publik dan menjadi atensi nasional.
Mulai dari pemakaian kop surat kementerian, pernyataan soal wartawan bodrek yang memeras kepala desa, dan yang paling menggemparkan keputusan MK yang membatalkan kemenangan istri Mendes sebagai Bupati Serang, yang menyebutkan keterlibatan kekuasan menteri atas kepala desa untuk pemenangan sang istri.
Tidak sampai di situ, ribuan pendamping desa se-Indonesia juga dibuat resah, sebab kementerian menyingkirkan tenaga ahli dan pendamping desa yang ikut caleg dalam Pileg 2024.
Pada kontrak tenaga pendamping tertulis klausul yang berbunyi : “Pihak kesatu dapat melakukan pemutusan kontrak secara sepihak apabila pihak kedua terbukti pernah mencalonkan diri sebagai calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, kabupaten atau kota tanpa didahului dengan pengunduran diri atau memgajukan cuti Tenaga Pendamping Profesional (TPP) saat berkontrak dengan Kemendes PDT”.
Pada klausul tersebut, diksi “pernah mencalonkan diri” ditujukkan untuk menjerat atau mendepak pendamping desa yang mencaleg tahun 2024. Padahal, sebelumnya Kemendes melalui surat No 1261/HKM.10/VI/2023 yang ditandatangani langsung oleh Sekjen, pada huruf C, dalam surat tersebut menyatakan bahwa tidak ada pengaturan baik di tingkat undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri maupun keputusan menteri yang menyatakan bahwa TPP harus mundur dalam hal yang bersangkutan menjadi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten atau kota.
Alasannya, rekrutmen maupun perpanjangan kontrak TPP dilakukan melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa. Artinya, TPP tidak berstatus sebagai pegawai atau karyawan Kemendes.
“Keputusan Kemendes PDT untuk menghentikan kontrak pendamping desa yang maju sebagai calon anggota legislatif telah menuai kontroversi. Keputusan ini dianggap tidak adil karena pendamping desa tersebut tidak melanggar aturan. Harusnya aturan itu berlaku maju bukan berlaku surut,” ujar salah seorang pendamping desa dirahasiakan namanya.
Pendamping desa yang telah menyatakan bahwa mereka telah memenuhi semua persyaratan dan tidak melanggar aturan yang berlaku. Mereka juga telah menyatakan bahwa keputusan Kemendes PDT untuk menghentikan kontrak mereka adalah tidak adil dan diskriminatif.
Kemendes PDT telah menyatakan bahwa keputusan untuk menghentikan kontrak pendamping desa yang maju sebagai calon anggota legislatif adalah untuk menjaga netralitas dan menghindari konflik kepentingan.
Namun, keputusan ini telah menuai kritik dari berbagai pihak yang menganggap bahwa keputusan tersebut adalah tidak adil dan diskriminatif.
Maka dari itu, pendamping desa meminta Kemendes PDT untuk mempertimbangkan kembali keputusan tersebut, dan meminta agar kontrak mereka dipulihkan.
Kasus ini telah menuai perhatian dari berbagai pihak, termasuk dari organisasi-organisasi masyarakat sipil dan lembaga-lembaga pemerintah.
Banyak pihak yang menganggap bahwa keputusan Kemendes PDT untuk menghentikan kontrak pendamping desa yang maju sebagai calon anggota legislatif adalah tidak adil dan diskriminatif. **
Discussion about this post